Lihat ke Halaman Asli

Jihan Afnan

Mahasiswa Sastra Prancis di Universitas Padjadjaran

Mengunjungi Kota Omelas dan Pulang dengan Perasaan Berkecamuk

Diperbarui: 31 Mei 2023   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cover Cerpen | Source: amazon.in

Baru-baru ini, saya mengunjungi sebuah kota yang bernama Omelas. Sudahkah kamu pernah mendengar mengenai kemasyuran kota ini? Tentang bagaimana mereka mengadakan sebuah festival musim panas yang amat menyenangkan, penuh dengan makanan, musik, tarian, dan kebebasan berekspresi. 

Mereka memiliki semua yang kamu impikan! Namun, begitu kita menelusuri sejarah kota ini lebih jauh, kita akan sadar, kebahagiaan dan kesejahteraan yang diperoleh masyarakat kota ini begitu semu dan kejam. 

Omelas adalah sebuah kota imajinatif yang diciptakan oleh penulis Ursula K. Le Guin dalam cerpennya yang berjudul The Ones Who Walk Away From Omelas. Cerpen sebanyak 5 halaman ini nyatanya berhasil memercik perasaan tidak nyaman setelah menyelesaikannya sekaligus membuatmu terdiam merenungkannya.

Ringkasan The Ones Who Walk Away From Omelas

Hanya ada dua hal yang bisa disimpulkan dari dua halaman pertama cerpen ini: Pertama, bahwa Omelas adalah sebuah perwujudan dari Utopia-- narator mengatakan, Omelas layaknya kota dalam negeri dongeng. 

Warga Omelas selalu riang dan gembira. Mereka tidak memiliki Raja (artinya semua orang setara, tidak perlu khawatir pada kediktatoran dan penderitaan akibat perang!), mereka juga tidak memelihara budak (sekali lagi, semua orang itu setara!). Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani, pedagang, atau nelayan. 

Diceritakan juga, bahwa warga Omelas hidup minim aturan dan hukum, tapi kehidupan mereka yang bebas tetap membumi. Mereka tidak mengenal bursa saham, billboard/ time square, dan tidak ada mata-mata atau kendaraan modern seperti helikopter atau mobil yang merusak alam. Stasiun kereta menjadi tempat terindah di penjuru kota. 

Kedua, bahwa warga Omelas begitu bahagia dan puas dengan kondisi mereka saat ini. Atau mungkin lebih tepatnya -- terlihat bahagia. Semua gambaran menyenangkan tadi perlahan tergerus saat sebuah fakta baru menyembul. 

Di kota itu, kota yang sama dimana mereka memanjakan anak-anak mereka dan mengadakan perlombaan pacu kuda untuk para remaja, ada seorang anak yang menjadi pengecualian dari segala privilege tersebut. Anak itu hidup di sebuah ruang sempit bawah tanah yang terpencil dan tanpa jendela. 

Anak itu digambarkan "cacat" dan "lemah pikiran." Namun semua itu terdengar seperti omong kosong karena nyatanya yang membuatnya lemah adalah perlakuan seisi kota. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline