Apa yang pertama kali kamu pikirkan saat seseorang menyebut "Novel Prancis"? Novel yang hanya bisa dibaca oleh anak sastra? Bacaan berat yang rumit, berliku-liku, dan penuh pesan tersirat seperti teka-teki untuk dipecahkan?
"Ah, tidak mau, tidak tertarik. Pasti isinya vulgar, atau terlalu filosofis! Berat bahasannya, gak kuat! Kritik feminismelah, postkolonialisme, anti-rasis. Novelnya terlalu serius."
Eits, jangan salah sangka dulu, siapa bilang semua novel prancis sudah pasti berat-berat dan sulit dinalar manusia? Nyatanya, saya sebagai anak sastra prancis pun nggak begitu suka novel yang terlalu njelimet atau bikin otak berasap. Padahal setelah menceburkan diri, mau tidak mau saya harus mempelajarinya, kan? Maka, solusinya apa? Jelas saya harus cari novel prancis yang ringan dan cocok dengan selera saya, dong. Nah, novel semacam ini mungkin akan membuatmu berpikir "Serius, beneran novel prancis, nih?"
Untuk itu saya akan memulai rubrik yang bertajuk #BUNCIS ini-- khusus untuk kalian yang tertarik untuk membaca novel prancis tapi bingung harus memulai dari mana. Tentunya, novel-novel pilihan ini tetap akan meaningful dan worth it untuk dinikmati sebagai hiburan sekaligus memiliki pelajaran yang bisa dipetik. Oke, tanpa berlama-lama, yuk, simak #BUNCIS edisi pertama!
Novel yang akan kita bahas kali ini berjudul No et Moi (No and Me) yang terbit di tahun 2008 karya Delphine de Vigan. Fyi, Madame Delphine termasuk penulis kawakan Prancis yang menulis sejak tahun 2001 dan masih aktif menulis sampai sekarang (jadi, dia bukan penulis yang akan kamu temui di buku sejarah seperti Emile Zola atau Sartre, ya). Karya-karyanya sudah banyak diakui termasuk di kancah internasional, bahkan sudah ada beberapa yang difilmkan (termasuk buku ini!).
No et Moi sendiri ditulis dari sudut pandang tokoh utamanya: Lou Bertignac, seorang siswa akselerasi yang seharusnya masih SMP tapi karena kejeniusannya dia sudah duduk di bangku SMA kelas 1 di usia 13 tahun. Sedikit trivia untuk menambah wawasanmu, sistem sekolah di Prancis berbeda dengan di Indonesia. Disana, SD/ Elmentaire ditempuh selama 5 tahun bukan enam dan sebutan untuk tingkat kelasnya pun berbeda-beda: dimulai dari Cours prparatoire (CP) (kelas persiapan), Cours Elmentaire 1 (CE1) (kelas 1 SD), dan seterusnya Cours Elmentaire 2 (CE2), Cours Moyen 1 (CM1), Cours Moyen 2 (CM2). Lalu SMP/Collge ditempuh selama 4 tahun dan SMA/Lyce 3 tahun. Penyebutan tingkat kelasnya pun unik: kelas satu SMP disebut 6me (kelas 6) dan dihitung mundur hingga kelas 2 SMA. Sedangkan kelas 3 SMA disebut terminale (tingkat akhir).
Back to story, Lou adalah anak ber-IQ 160 yang pendiam, penuh rasa penasaran, dan menjadi kesayangan guru-guru karena kepandaiannya. Kekurangannya adalah dia seorang socially awkward dan memiliki mommy issue. Singkat cerita, Lou memiliki sebuah tugas individual di kelasnya dan dia memutuskan untuk menggali kehidupan tunawisma sebagai tema proyeknya. Saat itulah dia mengenal No, seorang cewek yang ditelantarkan ibunya dan akhirnya menjadi homeless. Lou bertemu No pertama kali di sebuah stasiun kereta. Kala itu, No yang berpenampilan kucel dan berantakan mengajaknya mengobrol lebih dulu tanpa merasa canggung. Setelah pertemuan itu, Lou menjadi penasaran dengan No dan dia juga khawatir pada cewek itu: Bagaimana caranya bertahan hidup di jalanan yang dingin? Bagaimana ia mengisi perutnya saat ia kelaparan? Dimanakah keluarganya? Mengapa dia bisa berakhir di jalanan?
Semua pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya pada akhirnya akan terjawab satu per satu seiring cerita berjalan. Pada akhirnya, wawancara yang Lou lakukan beberapa kali menuntunnya pada rasa empati dan peduli melebihi teman. Lou yang cemas, terlanjur menyayangi No yang lebih pendiam dari dirinya. Akhirnya, Lou memutuskan membawa No ke rumah keluarganya. Ajaibnya, semenjak No tinggal di rumah, ibu Lou yang mengalami depresi berat mulai kembali berbicara.
Hidup Lou pun banyak berubah sejak saat itu. Dia menginginkan No meraih kebahagiaan di rumahnya dan berjanji bahwa mereka akan bersama selamanya. Jujur, sebagai orang yang sudah lumayan sering membaca novel, kata 'selamanya' ini memang kata keramat dan membuat was-was dan gelisah. Benar saja, perjalanan No dan Lou untuk menjadi saudari atau soulmate tidak semulus itu.
Menurut saya, ada banyaaakk sekaliiii alasan yang membuat novel yang telah meraih penghargaan Prix des Libraries (2008) ini wajib masuk list TBR-mu. Novel ini memuat isu-isu remaja yang mungkin akan membuatmu bernostalgia sejenak pada masa sekolah: mulai dari cinta monyet yang naif, ribut dengan cewek populer di sekolah, menjadi anak emas guru, hingga ke kecanggungan sebagai anak rumahan yang tidak pernah menghadiri party. Selain itu, persona dari kekaleman plus kebar-baran No juga akan membuatmu betah membaca. Melalui novel ini juga kamu bisa membuka perspektif baru tentang negara Prancis lewat sisi yang berbeda yang jarang ditampilkan di film/novel lain: Faktanya, permasalahan tunawisma menjadi masalah besar di Prancis dan menurut data, saat ini jumlah tunawisma sudah mencapai 330,000 orang (hampir setara dengan jumlah populasi di Papua Barat tahun 2022).