Tidak ada yang dapat secara persis mendefinisikan seperti apa itu maskulinitas. Secara garis besar, diksi tersebut hanya hadir untuk mewakili sebuah konsep sosial terkait upaya untuk menjadi seorang “pria” (Otnes & Zayer, 2012). Kendati demikian, maskulinitas selalu berkait erat dengan hegemoni, identitas, kekuatan, atau bahkan kekerasan (Connell, 2016).
Maskulinitas dalam kultur tradisional begitu cocok dengan apa yang dikatakan Robert Brannon:
“No Sissy Stuff” (menghindari perilaku dan kecenderungan femininitas atau kebanci-bancian), “The Big Wheel” (status tinggi, sukses, dihormati, dan menghasilkan banyak uang), “The Sturdy Oak” (percaya diri, kuat, dan mandiri), “Give ‘Em Hell” (mengambil risiko fisik dan menjadi kasar jika perlu).
Dimensi-dimensi inilah yang secara tak langsung membatasi anti-maskulinitas pada perilaku yang berbeda—cenderung berkebalikan. Mereka yang tidak maskulin cenderung menunjukkan perilaku damai dibanding kasar, bersifat mendamaikan dibanding mendominasi, kesulitan untuk menendang bola, tidak tertarik pada penaklukan seksual, dan masih banyak lagi (Connell, 2005). Dengan kata lain, maskulinitas berfokus pada kekuatan, baik kekuatan dalam konteks perbandingan kelas dengan wanita atau justru perbedaan antara dominan dan subordinat pada kelompok-kelompok pria itu sendiri (Murrie, 1998).
Konsep maskulinitas semacam ini masih terus langgeng diterapkan dalam keseharian beberapa negara di dunia. Terkhusus Australia—tempat di mana hard (tough) masculinity mendominasi—sosok pria yang maskulin terus diartikan sebagai seorang pria kulit putih yang heteroseksual, arketipe dan heroik, juga hyper-masculinised (Morris, 2006). Kultur Australia mengonstruksi pria-pria mereka sebagai pria yang praktis dibanding teoritis, menghargai kecakapan fisik dibanding kemampuan intelektual, baik dalam krisis meski sangat santai, biasa dan bersahaja, intoleran dengan kepura-puraan dan tututan budaya, bukan wowser (puritan), gemar minum-minum, bersumpah-serapah dan berjudi, mandiri dan egaliter, serta membenci dan mengutuk otoritas (Murrie, 1998).
Tough masculinity inilah—yang kurang lebihnya dipraktikkan dengan cara serupa oleh lain-lain negara—yang juga membuat kota Glasgow di Skotlandia diasosiasikan dengan kriminalitas, kebengisan, dan perilaku anti-sosial. Konsep tough masculinity telah menjadi normatif dan bergabung ke dalam nilai sosial masyarakat Glasgow. Dalam perspektif mereka, menjadi seorang pria berarti menjadi identik dengan kekuatan, kekerasan, dan kemampuan fisik (Lawson, 2013).
Konsep maskulinitas itu pada akhirnya menguasai banyak aspek dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk aspek hiburan. Dalam catatan perkembangan dunia hiburan Korea Selatan pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an, maskulinitas kerap digambarkan dengan menampilkan pria-pria berjas rapi, berjam tangan mewah, atau pria tradisional yang kuat. Ini adalah potret yang umum digambarkan untuk menunjukkan kesan “kuasa”. Pada tahun-tahun tersebut, potret maskulinitas banyak dijejalkan pada sosok atau peran yang kuat atau kasar, seperti gangster, detektif, maupun pemberontak (Jung, 2011).
Kendati demikian, melalui dunia hiburannya pula, Korea Selatan justru mulai sedikit demi sedikit menggeser definisi maskulinitas global awal seiring dengan merambahnya budaya populer mereka di kancah dunia pada akhir 1990-an. Budaya populer itu kemudian dikenal dengan nama Hallyu (한류) yang dalam bahasa Inggris berarti “Korean Wave”. Istilah tersebut merujuk pada popularitas Korea Selatan di suatu regional dalam konteks produk hiburan, yang mana di antaranya adalah film, drama televisi, musik, atau bahkan fashion (Jung, 2011).
Lewat Hallyu, Korea Selatan akhirnya membawa konsep maskulinitas yang lebih baru, yang mana merupakan bagian dari paradigma mugukjeok (무국적)—berarti non-nationality; mirip dengan akulturasi budaya yang dipengaruhi unsur global sekaligus elemen tradisional dari suatu negara (negara asal).
Maskulinitas versi Korea Selatan yang sering direpresentasikan oleh karakter utama pada drama—yang berbeda dari hard masculinity—berhasil diselundupkan sebagai suatu nilai dan sukses mematahkan belenggu. Menyusul “tipe” maskulinitas non-Korea lain seperti kata kawaii (可愛)—berarti imut—dalam kultur Jepang, cool masculinity, atau bahkan metroseksual (Jung, 2011). Tipe-tipe tadi juga sukses masuk untuk “memberontak” di tengah potret media akan maskulinitas yang serba keras, dan seolah membuka pilihan baru bagi pria untuk menentukan preferensi ragam maskulinitas mereka.
Korea Selatan dalam agenda Hallyu-nya telah mencampurkan rumus maskulinitas ala tradisional Korea Seonbi, maskulinitas Konghucu Wen China, maskulinitas Bishounen (pretty boy) Jepang, serta maskulinitas global metroseksual, untuk kemudian menyelundupkan hasil amalgamasinya ke dalam budaya populer mereka (Jung, 2011). Dari sinilah muncul istilah “soft masculinity”. Sebuah terminologi untuk mewakili sifat maskulinitas yang mendominasi Asia Timur dalam cara pandang mereka terhadap pria—yang mana melucuti identifikasi serba kuasa dan kekuatan yang ada pada terminologi maskulinitas versi lama (Tunstall, 2014).