Jika permainan tradisional adalah manusia seperti saya, mungkin hari ini, atau dalam satu dasawarsa terakhir, mereka hanya akan duduk di kursi goyang sambil bernostalgia.
Dulu, mereka pernah sangat berjaya dan bahagia bersama anak-anak yang kini sudah meninggalkan mereka demi realitas baru bernama kesibukan profesi, kematangan berumah tangga, hari tua, atau mungkin kematian. Singkatnya, kehidupan yang lebih matang dan ruwet sekaligus.
Dalam sesi nostalgia itu, jika mereka sama-sama berada di sebuah teras panti jompo, mereka mungkin akan saling beradu jago. Mungkin, gobak sodor akan berdiri sambil menepuk dada dengan bangga. Setidaknya ia pernah mendidik anak-anak tadi berbagai cara cerdik untuk dapat mengatasi kolega licik.
Pun kebanggaan itu segera dipangkas oleh tarik tambang. Ia merasa paling berjasa karena telah mengajari anak-anak, bahwa meski selalu sederhana, hidup tetap hanya akan dimenangkan oleh mereka yang lebih kuat, baik jiwa maupun raga.
Mendengar itu, congklak yang tak mau kalah pamer pun akan segera tertawa mengejek sambil menggelengkan kepala. Ia mungkin akan bilang pada tarik tambang, bahwa hidup tak melulu soal kekuatan fisik dan psikis, sebab ia selalu mengandalkan kekuatan daya pikir. Kepada anak-anak, congklak telah mengajarkan untuk senantiasa tangkas pikir dalam memperhitungkan masa depan sebelum mulai melangkah.
Mungkin, setelah congklak pun, akan ada lagi permainan tradisional lain yang saling sahut-menyahut. Beradu argumen dan merasa paling berjasa dalam membangun masa kecil anak-anak Indonesia. Mereka merasa paling hidup dalam masa lalu seseorang. Merasa paling eksis sebagai fondasi dari pribadi dewasa orang tersebut.
Sampai ketika layang-layang mengingat satu hal pahit yang mampu membuatnya tertawa miris. Pada Juni silam, di Mataram, Perda Trantibum Nomor 11 Tahun 2015 telah menjadi suatu dasar pembatas antara dirinya dengan masyarakat Mataram manapun.
Satpol PP bahkan berencana mengadakan patroli demi menumpas keberadaannya. Mereka begitu cemas, sebab seorang lansia bernama layang-layang itu memang pernah memakan korban jiwa di Solo, Denpasar, dan Bekasi akibat benang gelasan (Regional.kompas.com, 2020) yang membantunya terbang setinggi angan-angan masa kecil siapapun.
Oleh sebab layang-layang nan selalu bergerak kuat menerjang angin demi menuju ke atas awan, saya pikir ia sejatinya bertabiat keras. Ia sudah banyak mendidik anak-anak untuk terus gigih menerjang aral guna mencapai setinggi-tingginya angan.
Karenanya, ia pasti enggan mengaku salah dan melemah, agar dapat dipenjara hanya untuk memperoleh makanan gratis layaknya sejumlah manula di Jepang. Ia mungkin lebih suka tinggal bersama permainan tradisional lainnya di panti jompo sambil misuh-misuh karena dirinya akan segera lenyap bersama dengan lahan bermain anak di kota-kota besar.
Sekitar separuh dari kurang lebih dua ratus juta masyarakat Indonesia pada 2014 telah tinggal di kawasan perkotaan dan menjadi kaum urban (Manurung, 2017). Hal itu mau tidak mau menjadi alarm bahwa harus ada areal yang rela "dikorbankan" demi pembangunan fasilitas perkotaan. Ruang terbuka publik menjadi semakin berkurang.