Sejenak membangun ruang kontempelasi internal untuk berdialektika dengan diri dan mencoba segala komposisi untuk meramu keselarasan iman dan produktivitas
Kerja….Kerja….Kerja!!! itu adalah slogan yang digaungkan oleh pemerintah kita. Banyak pro dan kontra dalam menanggapi slogan itu. Tapi terlepas dari itu, harus kita akui bahwa memang benar secara realita. Ini lah yang terjadi, tuntutan untuk mengikuti gejolak kemajuan zaman dimana itu berorientasi dengan produktivitas materialistik. Kerja….kerja….kerja!!!
Kita perlu makan, minum, membayar biaya tempat tinggal dan segala kebutuhan primernya. Tak lupa hal yang sandang menjadi sektor sekunder untuk menopang kelancaran menjalani hidup sehari – hari. Ada juga mungkin sebagian dari kita gara – gara mengikuti trend metropolitan, perihal gaya hidup atau lifestyle kita jadikan sebagai hal yang pokok. Padahal sebenarnya itu merupakan kebutuhan tersier.
Dan faktanya kenaikan harga kebutuhan itu berjalan linier dengan jalannya waktu. Jadi makin kesini harga kebutuhan pokok untuk melangsungkan hidup mengalami kenaikan. Selain mengalami kenaikan, proporsional kebutuhan pun menjadi campur aduk antara yg primer, sekunder, dan tersier. Ini lah kenapa kita selalu menuntut diri untuk meningkatkan produktivitas materi untuk bertahan mengikuti perkembangan zaman.
Silaunya gemerlap materiil mungkin sudah menyilaukan lensa kita. Sehingga lama kelamaan itu merubah orientasi pandangan kita menjadi tidak biasa. Jika diibaratkan dengan ilmu biologi, apabila mata secara terus menerus menangkap cahaya yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan retina. Dalam artian kemampuan mata kita menjadi melemah dan lama – kelamaan akan rusak.
Tidak salah jika ada istilah “industri kehidupan”. Jadi selama kita hidup akan dikatakan hidup ketika kita mengikatkan diri dalam zona industri kehidupan itu. Kita akan dikatakan mempunyai nilai pada saat ada materi yang bisa kita hasilkan dari kegiatan kita. Dan secara tidak langsung kita pun menggantungkan eksistensi diri kita kepada orang – orang di sekitar kita.
Mungkin ini lah yang terjadi dengan kita. Kita terlalu sering melihat hal – hal materi yang menyilaukan. Seperti anggota tubuh pada umumnya, sesekali kita perlu merelaksasikan pandangan kita. Mengalihkan sejenak pandangan ke obyek lain, ataupun memejamkan sejenak pandangan kita sehingga indera kita bisa beristirahat. Dengan begitu kita bisa mengkalibrasikan kemampuan kita untuk memandang sesuatu. Agar kita bisa mengetahui kualitas kejernihan kita dalam memandang sesuatu
Dalam skema proses bersikap terhadap sesuatu atau melakukan sesuatu. Secara sadar, proses pertama adalah menangkap kejadian – kejadian yang terjadi dengan mata kita, lalu diproses dengan otak kita dan terakhir dinilai dengan hati kita. Kemudian tubuh kita merespon sesuatu terhadap kejadian tersebut.
Jadi tidak hanya memerlukan kondisi pikiran dan hati yang bersih, pandangan kita pun harus kita jaga kondisi kemurniannya. Jadi dengan metode menangkap objek sesuai realita. Tidak dengan lensa yang kotor sehingga detail objek tertutupi debu. Tidak dengan lensa cekung yang bisa mengecilkan objek. Dan tidak juga dengan lensa cembung yang bisa membesarkan objek. Hal ini bisa membantu meringankan kerja pikiran dan hati dalam menyimpulkan sesuatu.
Dalam istilah sains, pengambilan data yang tepat merupakan satu faktor yang mempengaruhi validitas dari kesimpulan terhadap penilaian sesuatu. Tidak akan ada istilah paralaks dalam sebuah pengamatan dengan lensa yang jernih. Dengan menangkap hal – hal yang benar, ditambah proses analisa pikiran dan hati kita yang murni, kesimpulan dan respon yang akan kita berikan pun bernilai baik di mataNya.