Lihat ke Halaman Asli

Gen Z dan Kesehatan Mental: Mengapa Mereka Sering Disalahkan?

Diperbarui: 8 Januari 2025   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

johavel. (n.d.). *Poster Bully Simpel* [Gambar]. Pinterest. https://id.pinterest.com/pin/878131627345453853/ 

Di era digital ini, orang-orang yang lahir antara tahun 1997-2012 atau disebut Gen Z, seringkali dianggap sebagai generasi sensitif. Namun, dibalik label tersebut, mereka dihadapkan tantangan unik yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, termasuk perundungan yang berujung pada bunuh diri. Realitas ini menyoroti kompleksitas hidup mereka yang seringkali luput dari perhatian.

Statistik penelitian menunjukan bahwa tingkat kecemasan dan depresi yang dialami Gen Z lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Dikutip dari Kompas pedia, berdasarkan data yang dilaporkan dari tim jurnalisme Data Kompas, persentase 40,7%, jauh lebih tinggi dibandingkan Gen Y (milenial) yang sebesar 26,7% dan Gen Alpha yang sebesar 26,2%. (Kompas pedia, 2024) Banyak faktor yang berkontribusi terhadap masalah ini, termasuk ketergantungan pada media sosial, tekanan akademis, persaingan di pasar kerja, serta perundungan. Lingkungan penuh tekanan inilah yang menambah beban emosional, yang kemungkinan dapat memicu keinginan untuk bunuh diri.

Kasus Bunuh Diri Terkait Perundungan

Kasus bunuh diri Aulia Rahma, seorang mahasiswa kedokteran, mencerminkan dampak serius dari perundungan yang dialaminya. Namun, media seringkali menunjukkan masyarakat yang beranggapan bahwa "Anak-anak muda zaman sekarang tidak tahan banting". Apakah perspektif tersebut mencerminkan pemahaman yang keliru tentang tantangan mental yang dihadapi generasi muda saat ini? tentu hal ini harus ditelusuri secara mendalam. Berdasarkan laporan dari CNA, data dari Into The Light Indonesia mengungkapkan bahwa telah terdeteksi sebanyak 826 kasus bunuh diri pada tahun 2024 ini. (CNA, 2024) Ini bukan sekadar angka; ini adalah nyawa yang hilang, masing-masing dengan cerita dan perjuangan yang mendalam. Keadaan ini seharusnya memicu kesadaran kita semua betapa pentingnya mendukung kesehatan mental dan mengatasi stigma yang menghalangi individu untuk meminta bantuan.  

Stigma yang tumbuh di masyarakat mengenai kesehatan mental masih kuat. Masyarakat sering kali menyalahkan Gen Z karena dianggap "lemah" atau "berlebihan" dalam menghadapi tekanan. Ketika mereka berbicara tentang masalah kesehatan mental, suara mereka sering kali diabaikan atau ditertawakan. Hal inilah yang menciptakan lingkungan di mana mereka merasa terisolasi dan terabaikan/diabaikan, sehingga membuat kesehatan mental mereka semakin buruk.

Stigma ini mempunyai dampak yang serius. Banyak remaja yang merasa ragu meminta bantuan karena takut dianggap lemah. Perundungan dan masalah kesehatan mental yang dialaminya sering kali membuat mereka berjuang sendirian, tanpa adanya dukungan apapun. Seperti yang kita tahu bahwa dukungan sosial dari teman dan keluarga sangat penting, tetapi stigma ini membuat banyak orang takut untuk terbuka.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Kita perlu meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental. Kita harus menanamkan dalam diri kita perasaan bahagia dan keberanian untuk berbicara ketika ada suatu hal yang mengganggu, terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental. Mari kita bangga dan merayakan setiap pencapaian, sekecil apapun itu. Edukasi dimulai dari diri sendiri; yakinlah bahwa kita mampu dan layak untuk bersuara. Kita perlu mengubah narasi dari "mereka yang lemah" menjadi "mereka yang berani". Kita ajak mereka untuk berani speak up mengenai gangguan yang dialami. Dengan memberikan ruang bagi Gen Z untuk berbicara dan berbagi pengalaman mereka, kita dapat membantu mengurangi stigma dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung.

Kesimpulan

Gen Z dihadapkan tantangan yang mengancam kesehatan mental mereka. Mereka berjuang dengan kesehatan mental di tengah tekanan sosial yang sangat besar. Daripada menyalahkan mereka, mari kita dukung mereka. Dengan memberikan pemahaman dan dukungan yang tepat, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi ini. Mari kita bersama-sama mengubah stigma menjadi empati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline