Malam itu saya sementara sendiri di kamar saya di kota Makassar membuat sebuah tulisan untuk sebuah koran. Tiba-tiba dari jarak sekitar 20 meter beberapa orang teriak, pencurii... pencuri..., pencuriii. Beberapa orang berlarian mengejar sang pencuri, sementara terdengar sebuah motor berlari kencang dengan dua orang berboncengan, yang di belakang mengangkat parang mengancam siapa saja yang berusaha mengejar.
Saya langsung keluar kamar mendapati kerumunan orang yang saling berbagi cerita. Seorang wanita umur sebaya menuturkan bahwa sang korban sementara duduk-duduk di teras depan rumah bersama beberapa orang sambil meletakkan handphone android harga jutaan di sampingnya. Tiba-tiba seseorang datang mengambil handphone dan langsung naik motor yang siap terbang. Sang pengendara langsung tancap gas, si pencopet hp menggenggam erat android rampasan sambil mengangkat parang mengancam siapapun yang berani mendekat.
Sang pencuri begitu lincah, dimulai dengan memata-matai incaran, menyusun rencana, dengan sangat cepat mengambil handphone, menaiki motor, menancap gas, mengemudi dengan cekatan, menyiapkan parang, menakut-nakuti, lalu menghilang. Di sisi lain sang korban begitu teledor, bersantai-santai di teras, lalu tanpa pernah berfikir bahwa dengan meletakkan handphone yang jaraknya hanya sejengkal (sambil berbincang-bincang dengan teman) akan menggoda sang pencuri untuk datang. Sama sekali di luar perkiraan sang korban.
Kejadian mirip terjadi setahun silam, juga di kota makasar di depan UNM kampus gunungsari. Seorang wanita mahasiswa S2, sedang berdiri di pinggir jalan menanti pete-pete (angkot) untuk pulang. Sabil berdiri ia menjinjing tas berisi laptop miliknya. Tiba-tiba sebuah motor berhenti juga dengan dua orang yang berboncengan, yang dibonceng langsung menyambar tas laptop dan sang pengendara langsung tancap gas, tentu setelah yakin kalo yang dibonceng sudah siap. Orang teledor, pencuri menggedor, makassar menebar teror. Dua kejadian yang sama, bahkan bukan dua, sangat banyak di kota ini. Hampir-hampir kita tak lagi mampu menceritakannya. Orang-orang teledor, pencuri menggedor, kota penuh teror.
Pertanyaan kita siapa yang salah? Ini memang sepertinya pertanyaan bodoh, karena semua orang pasti menjawab bahwa sang pencuri yang salah, kenapa mengambil barang milik orang lain, mestinya ia bekerja mencari yang halal, jangan dong mengambil milik orang dengan cara demikian sadis dan meneror. Mestinya sang pencuri punya hati nurani bahwa perbuatannya itu menyakiti orang lain, perbuatannya membuat orang bersedih. Mestinya sang pencuri sadar bahwa yang dilakukannya akan mendapat ganjaran dosa dan kelak masuk neraka. Taapppiiii sadarkah kita pula bahwa kalo si pencuri punya nurani maka ia pasti bukan pencuri, dan kalo ia sadar pasti tak melakukan dosa.
Lalu ada yang menyalahkan si orang teledor. Janganlah teledor, jangan menyimpan handphone mahal sembarangan, tetaplah waspada bahwa pencuri selalu mengintai. Tetaplah berhati-hati karena kapanpun, dan dengan sesedikit kemungkinan sekalipun sang peneror bisa datang tiba-tiba. Jangan berdiri di sembarang tempat, jangan hanya memegang tas laptop, genggamlah erat-erat, kalau perlu ikatlah dengan tali tambang, demikian yang dikatakan orang yang menyalahkan yang teledor.
Sang Pencuri sudah pasti salah, orang teledor juga salah, siapa suruh teledor. Tapi jika suasana ini ini terjadi terus, sebuah kota dengan teror tanpa henti lalu untuk apa negara menggaji mereka yang ketika pilkada obral janji macam-macam. Untuk apa negara menggaji polisi jika keamanan tak bisa dijaga. Inikah negeri yang kita janjikan?, inikah kota yang kita impikan? Lalu kepada siapa kita menagih janji?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H