Mengutip sebuah ucapan dari Einstein "Semua orang jenius. Tetapi jika anda menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, percayalah itu adalah hal bodoh."
Dalam kalender pendidikan, umumnya bulan Juni identik dengan bulan yg menentukan naik/tidaknya seorang pelajar ke tingkat berikutnya. Dibulan tersebut para tenaga pendidik disibukkan dengan mengolah dan merangkum nilai siswa dari awal semester genap hingga penilaian akhir tahun sehingga menghasilan suatu nilai yang dapat menentukan naik/tidaknya siswa ke kelas berikutnya.
Merangkum nilai dimasa pandemi tentu berbeda dengan dimasa normal mengingat dimasa pandemi pembelajaran dilaksanakan secara full daring. Dengan demikian tentu diperlukan pemikiran yg ekstra dan kebijaksanaan utk menghasilkan nilai yg berkeadilan.
Selama proses pembelajaran daring, tentu banyak kendala yg dihadapi oleh seorang guru maupun siswa, mulai dari ketidak hadiran siswa, keterlambatan siswa, bahkan tidak mengumpulnya tugas dengan berbagai macam alasan yg dapat dibenarkan maupun tidak. Belum lagi saat guru menjelaskan siswanya tidur-tiduran dengan mematikan kamera dan lain sebagainya. Sebagian Siswapun kadang disaat jam belajar lebih memilih utk membantu org tua dengan alasan meringankan beban hidup keluarga dimasa pandemi.
Singkatnya menjelang rapat kenaikan kelas, kadang beberapa siswa mengejar ketertinggalannya dengan cara kebut semalam demi mendapatkan nilai tuntas dan tetap naik kelas.
Kembali kepada ucapan einsten diatas, tentu seorang guru sangat memahami bahwa kecerdasan dan pemahaman setiap siswa itu berbeda, tidak dapat disamaratakan bahwa semua siswa wajib memperoleh nilai tinggi karena memang setiap siswa itu unik dan memiliki kecerdasana masing-masing. Sebagaimana ikan akan sangat terampil jika berada di air dan ayam akan sangat terampil ketika berada didarat. Namun apakah ikan tidak bisa berada didarat dan ayam tidak bisa berada di air ?
Masa pandemi diperlukan pemikiran yg ekstra dan kebijaksanaan dalam menentukan ketuntasan nilai siswa sehingga dapat diputuskan siswa tersebut naik kelas/tidak.
Namun, apakah ketidak hadiran serta tugas yang dilalaikan hingga mencapai 90-100 % bisa dibijaksanai ? Jawabannya tergantung dari usaha yg sudah dilakukan guru seperti halnya :
Apakah guru tersebut sudah mengingatkan dan menasihati siswa yg bermasalah tersebut ?
Apakah guru sudah menjalin komunikasi yg baik dengan siswa ?
Apakah guru sudah meminta teman sebayanya utk mengingatkan ?
Dan apakah guru sudah melakukan evaluasi terhadap materi yg diberikan kepada siswa dapat dipahami atau tidak ?
Dan dibalik semua itu, apakah siswa menerima langsung nasehat dari gurunya berupa balasan chat atau menjawabnya melalui telepon mengingat pembalajaran yg dilaksanakan secara daring. Bahkan jika memungkinkan apakah siswa tersebut sudah dipanggil kesekolah atau tidak untuk mengkonfirmasi kealpaannya dalam belajar dan tugas.
Jika semua cara sudah dilakukan ternyata tidak ada respon balik dari siswa bahkan cenderung diabaikan, maka dalam hemat saya sangatlah wajar jika siswa tersebut memperoleh nilai tidak tuntas yang mengakibatkan tidak naik kelas dikarenakan ulahnya.
Namun sebaliknya, jika siswa merespon balik terhadap nasehat guru dan berusaha utk memperbaikinya walaupun secara bertahap maka bagi saya kebijaksanaan tersebut sangat pantas utk diberikan.
Karena memang "setiap usaha" memiliki nilai dimata seorang guru.
Dengan demikian bagi siswa, Apakah selama satu semester "telah berusaha" dengan baik atau "tidak" ?
Lalu, jika "tidak berusaha" dengan baik bahkan cenderung acuh, sehingga hasilnya jelek,
Apakah pantas kita menyalahkan orang lain terlebih seorang guru yg sudah mendidik , meluangkan waktunya disaat jam istirahat dan mengeluarkan tenaga yg ekstra agar kita dapat naik ketingkat selanjutnya.
Layak utk direnungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H