Lihat ke Halaman Asli

Kristian Suryo

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Atmajaya Yogyakarta

Budaya Baru Karena Media

Diperbarui: 10 November 2020   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waralaba

Interkoneksi dan interdependensi yang demikian cepat dalam globalisasi terjadi akibat perkembangan teknologi informasi yang dewasa ini semakin konvergen. Para analisis globalisasi menurut Held and McGrew (1999) terbagi ke dalam tiga pemikiran (school of thought): Yang pertama Hyperglobalist yaitu kelompok yang melihat globalisasi sebagai ancaman bagi satu negara karena ia akan mengurangi kekuasaan negara dan digantikan kemudian oleh datangnya pasar global. Mazhab ini melihat faktor ekonomi sebagai determinan globalisasi yang akan mendenasionalisasi ekonomi satu negara dan akan menyebabkan hilangnya kedaulatan negara. kedua Skeptics menyatakan bahwa globalisasi adalah sebuah mitos seberapa yang dimaksud dengan globalisasi dalam perspektif ekonomi sebagaimana dinyatakan kaum hyperglobalist bukanlah fakta yang universal. Dan yang ketiga Transformationalist yang menganggap globalisasi punya konsekuensi struktural dan merupakan kekuatan pendorong perubahan masyarakat lewat pengaruh ekonomi, politik dan sosial dengan jalan proses dialektis. Jadi globalisasi bukan sekedar homogeni atau heterogen, konvergen atau divergen melainkan sebuah proses dialektis yang menimbulkan baik integrasi atau fragmentasi sekaligus.

Paradigma dominan Barat mengenai komunikasi dan teknologi informasi  yang disebarluaskan, dianggap sebagai nilai yang mengandung muatan paternalistik dan etnosentrisBarat. Metodologi riset komunikasi internasional Barat yang berpusat pada efek media telah mengabaikan konteks ideologi, ekonomi, politik, dan budaya negara-negara Dunia Ketiga. Media merupakan bagian integral dari "ideological state apparatuses" yakni bagian dari alat negara yang menanamkan nilainilai ideologis kepada publik.

Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet demikian kuat sehingga Indonesia berada di antara dua pengaruh negara adikuasa tersebut. Namun politik kebudayaan era Soekarno pada saat itu lebih condong pada semangat anti-imperialisme. Karena itu, melalui ajaran Trisaksinya: (yakni daulat politik, daulat ekonomi dan daulat kebudayaan), rezim Orla melarang segala bentuk kebudayaan pop dari Barat. Budaya asing mempengaruhi perubahan pola interaksi personal individu, seksualitas (personal intimacy), kecantikan (beauty), pola hidup konsumtif, dan tingginya penggunaan istilah asing yang diakibatkan oleh tayangan iklan, majalah, film, video klip musik, dan sosial media yang mensosialisasikan gaya hidup dan mode barat.

Rezim orba merupakan awal pintu kebudayaan barat terbuka lebar masuk ke Indonesia. Cara pandang neo-liberal dalam ekonomi yang dianut para elite atau, cara berpakaian dan penggunaan merk yang "branded" dari Barat, perilaku pejabat publik dan keluarganya yang sering berbelanja ke luar negeri, semakin tingginya anggota masyarakat mengonsumsi jenis makanan KFC, McDonald, AW dan minuman Cola Cola misalnya, sudah lumrah menjadi kebiasaan santapan masyarakat kita.

Hollywood Movie Production

Pada bidang industri film dan musik misalnya, hampir setiap hari televisi yang ada di Indonesia, menyuguhkan banyak film Hollywood yang mengangkat produk Amerika. Bioskop seperti Blitz dan XXI di tiap pusat kota misalnya, dikuasai oleh film impor Amerika. Artis-artis Hollywood menjadi cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia. Apa yang di makan, diminum, dipakai oleh artis Hollywood mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi dan memiliki produk-produk yang berasal dari Amerika. Demikian pula dalam industri musik, lagu-lagu Barat sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian anak-anak dan remaja di Indonesia.

Pada Era Reformasi, politik kebudayaan semakin terbuka lebar. Negara seakan kehilangan identitas dalam kaitannya dengan gerak imperialisme budaya. Globalisasi mendatangkan perkembangan teknologi informasi yang bersifat interaktif, dimana sumber pengetahuan tidak saja datang dari media konvensional, tetapi juga dari inkonvensional yaitu ketika masyarakat semakin tergantung kepada media sosial yang semakin massif di era reformasi ini.

Social Media

Media sosisal juga mempengaruhi remaja Indonesia untuk menyukai K-Pop yang membuat boyband dan girlband asal Korea menjadi trendsetter. Film serial yang berasal dari Korea yang akrab dikenal sebagai Drakor juga sangat di minati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Media massa maupun media sosial telah menjadi sumber utama masuknya budaya Korea. Akibatnya, imperialisme budaya Korea semakin deras merasuki kalangan masyarakat Indonesia.

Parasite

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline