Lihat ke Halaman Asli

Jhon Martulus Manullang

Mahasiswa/ Universitas Sriwijaya

"AGUS NO HAND", Refleksi Kaum Difabel Dimata Hukum

Diperbarui: 9 Januari 2025   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang penghujung Tahun 2024, Indonesia dikejutkan berita mengenai adanya laporan tindak pidana Pelecehan yang diduga dilakukan oleh penyandang disabilitas yaitu I Wayan Suartama sekaligus peristiwa ini menjadi polemik dan perbincangan khusus. banyak orang bertanya, bagaimana mungkin seorang penyandang disabilitas yang tidak memiliki kedua tangan dapat merudapaksa atau melecehkan korbannya yang diduga lebih dari 13 orang. 

Setelah serangkaian penyelidikan hingga sampai pada kecurigaan penyidik serta bukti bukti yang ditemukan, penyidik akhirnya menahan I Wayan Suartama atau yang dikenal sebagai Agus kemudian ditahan di lembaga pemasyarakatan guna menjalani proses penyidikan secara mendalam. hingga akhirnya pada Tanggal 7 Januari 2025 kasus perkara agus kemudian dinyatakan P21 yang berarti penyidikan telah selesai. Pada Kamis (9/1/2025), Agus Difabel kemudian resmi ditahan dalam lapas kela IIA kuripan, Kabupaten Lombok Barat NTB,  Dengan disediakan lapas Khusus. 

Menyikapi peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh I Wayan Suartama (Agus), sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual dengan statusnya sebagai penyandang disabilitas. bagaimana hukum positif nasional memandang suatu tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang disabilitas, apakah hukum akan bersifat aktif ataupun pasif?, dengan status disabilitas sebagai alasan peringan ataupun pemaaf dalam tindak pidana yang dilakukan.

Merujuk pada dasar pengenalan hukum, penyandang disabilitas merupakan subyek hukum sama halnya dengan  orang normal lainnya (433 KUHPER). untuk itu, jelas di dalam konstitusi menjunjung tinggi hak asasi manusia bagi setiap subyek hukum serta berbanding lurus dengan penegakan hukum yang diberikan bagi subyek hukum yang melanggar aturan hukum atau melakukan suatu tindak pidana. penyandang disabilitas digolongkan kedalam subyek hukum yang cakap (dapat dimintai pertanggung jawaban). namun, ada beberapa kategori disabilitas yang tidak cakap seperti Autisme, bipolar dan lainnya. namun, semuanya diukur pada tingkat kemampuan berpikirnya.  

Pasal 32 UU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah subyek hukum yang cakap jika tidak dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan. dalam hal ini, treatment atau ritme berjalannya penegakan hukum bagi penyandang disabilitas tidak mendapatkan pembeda khusus dari segi penanganan. namun, bisa saja memiliki keistimewaan tertentu apabila penyandang disabilitas terbukti secara sah tidak cakap Hukum. maka, dapat diberikan alasan pemaaf ataupun alasan peringan. keistimewaan lain dapat terjadi pada pemisahan sel pelaku penyandang disabilitas dengan pelaku tindak pidana lainnya. hal ini guna memerhatikan kebutuhan dari pelaku penyandang disabilitas sebagai pelaku tindak pidana dengan diberikan alat bantu dan beberapa fasilitas lainnya, namun tetap dalam batas koridor hukum yang sewajarnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline