Dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023 mengundang sejumlah polemik yang sangat dilematis. Publik banyak yang memperdebatkan alasan FIFA mencabut kepercayaannya kepada Indonesia setelah 4 tahun berjuang. FIFA menunjuk Indonesia tahun 2019 menyisihkan Brasil dan Peru yang juga ikut menawarkan diri.
Brazil sebenarnya lebih berpeluang besar mengingat mereka baru sukses menyelenggarakan Piala Dunia pada 2014 serta Copa Amerika 2019 dan 2021 yang lalu. Tetapi, selain karena usaha dan keseriusan serta keterlibatan pemerintah dalam proses bidding, FIFA juga menginginkan negara-negara kelas menengah kebawah untuk ikut ambil bagian dalam event akbar sekelas piala dunia U-20.
Kepercayaan ini sekaligus bagian dari komitmen FIFA membantu mengimprove sepakbola negara-negara menengah kebawah agar lebih berkembang dan mendapat atensi negara-negara yang sepakbolanya sudah lebih maju. Kepercayaan yang diberikan oleh FIFA tentu sudah dianalisa baik dari faktor keamanan, geopolitik, kultur masyarakat, ekonomi dan minat masyarakat Indonesia yang sangat besar terhadap sepakbola
Sejak penunjukan hingga awal tahun 2023, hampir tidak ada polemik berarti yang bisa menggoyahkan kepercayaan FIFA kepada Indonesia. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 138 orang saat pertandingan Arema vs Persebaya bahkan tidak diberi sanksi oleh FIFA, padahal tragedi itu adalah tragedi terbesar kedua sepanjang sejarah sepakbola setelah Tragedi Stadion Nacional (Peru) tahun 1964.
FIFA hanya menekankan untuk membantu transformasi sepakbola Indonesia seperti perubahan jam tanding, standarisasi stadion, aksesibilitas stadion hingga sistem keamanan yang melibatkan penegak hukum. Respon FIFA ini sekaligus menyelamatkan Indonesia dari mimpi buruk yang sangat ditakutkan yaitu Indonesia dibatalkan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Satu sisi beruntung tidak disanksi, satu sisi Indonesia menangisi duka yang sangat mendalam.
Awal 2023 khususnya bulan Maret, gelombang penolakan terhadap Timnas Israel mulai memanas. Padahal, timnas Israel sejak pertengahan 2022 sudah lolos dari babak kualifikasi, tetapi tidak ada gelombang protes sama sekali. Penolakan ini datang dari berbagai kalangan seperti Ormas PA 212, ormas islam lainnya, tokoh-tokoh agama, partai politik seperti PDI-Perjuangan, PKS dan PAN juga tokoh-tokoh politik seperti Gubernur Bali, I Wayan Koster, Ganjar Pranowo, anggota komisi III M Nasir, Sekjend PDI-Perjuangan Hasto Kristianto dan lain-lain.
Semua pihak yang menolak berdalih bahwa kehadiran Timnas Israel adalah upaya menegakkan konstitusi Republik Indonesia dan UUD 1945 serta upaya penghianatan terhadap perlawanan Soekarno terhadap penjajahan Israel ditanah Palestina. Khusus ormas Islam, mereka berpendapat bahwa kehadiran Israel sama saja dengan menghianati perjuangan rakyat Palestina yang dianggap mayoritas beragama Islam.
Padahal Duta Besar Palestina Zuhair Al Sun sudah menyatakan bahwa kehadiran timnas Israel tidak akan menurunkan hubungan baik Indonesia dengan Palestina. Bagi Al Sun, sepakbola hanyalah sepakbola sesuai aturan FIFA, tidak memiliki hubungan dengan politik apalagi konflik yang tidak memiliki akhir di tanah Palestina.
Antara Gengsi, Harga diri atau sebuah ego berdalih komitmen, pernyataan Dubes Palestina tersebut tak mampu menurunkan gejolak dalam negeri yang harus menolak kehadiran Timnas Israel. Sedangkan pihak yang tidak mempermasalahkan kehadiran timnas Israel adalah kelompok yang murni sebagai penikmat sepakbola tanpa embel-embel politik serta official dan pemain timnas Indonesia itu sendiri.
Satu kelompok melawan berbagai kelompok yang terdiri dari latar belakang agama, pandangan politik, partai politik dan suku ini membuat pertarungan opini tak seimbang sehingga suasana yang terjadi di Indonesia makin memanas. Apalagi jika sampai memperdebatkan soal ideologi agama, sulit rasanya memenangkan perdebatan publik jika kedua sudut pandang ini bersatu. Padahal, dalam sejarah bangsa, ideologi sebuah negara dengan pandangan agama itu selalu berseberangan, tetapi kali ini agak diluar kebiasaan.