Utang Luar Negeri Indonesia tidak pernah berkurang angkanya, yang terjadi justru sebaliknya makin tahun semakin bertambah nilainya. Meski pemerintah tetap melakukan pembayaran utang setiap tahunnya dengan berbagai cara, tetapi bagai pepatah "gali lubang tutup lubang," dana pembayaran utang tersebut juga bersumber dari pinjaman luar negeri. Meski demikian, utang adalah sebuah instrumen perekonomian dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dana yang terbatas dari sebuah negara mengakibatkan sebuah negara terpaksa harus melakukan pinjaman luar negeri kepada negara lain atau lembaga keuangan luar negeri.
Terbaru, per bulan April 2019, Bank Indonesia (BI) merilis data utang luar negeri Indonesia. Tercatat, Utang Luar Negeri Indonesia sudah menyentuh angka 389,3 Miliar Dolar Amerika Serikat ( Dolar AS) atau setara dengan Rp. 5.528,06 Triliun dalam asumsi kurs Rp 14.200,00/ Dolar AS. Jumlah Utang Luar Negeri tersebut naik sebesar 8,7% jika dibandingkan dengan periode bulan Maret 2019 sebesar 7,9%. Nilai tersebut meningkat sejalan dengan melemahnya nilai kurs Rupiah terhadap Dolar AS sehingga nilai tersebut akan meningkat dalam denominasi dolar AS.
Dari peningkatan utang luar negeri 8,7% tersebut, utang pemerintah memang mengalami perlambatan pertumbuhan, tetapi utang luar negeri swasta justru mengalami peningkatan. Utang Swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai 199,6 Miliar Dolar AS atau Rp 2.834,2 Triliun, tumbuh 14,5% lebih tinggi dibanding periode sebelumnya sebesar 13%.
Utang luar negeri swasta ini terdiri dari sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, gas uap air dan udara, pertambangan dan penggalian, dan listrik dengan total pangsa utang 75,2% dari utang luar negeri swasta.
Adapun utang pemerintah adalah 189,7 Miliar Dolar AS atau Rp 2.693,7 Triliun dengan pertumbuhan yang mengalami perlambatan sebesar 3,4% dibandingkan dengan bulan Maret sebesar 3,6%. Perkembangan utang pemerintah dipengaruhi oleh pembayaran pinjaman 0,6 Miliar Dolar AS dan penurunan berharga negara nonresiden dengan nilai 0,4 Miliar Dolar AS yang dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia terutama perang dagang AS dengan Tiongkok yang belum juga menemukan titik reda.
Meski Utang Luar Negeri Pemerintah besar, tetapi pengelolaannya difokuskan ke sektor riil dan hal-hal yang bersifat produktif. Artinya, alokasi dana yang bersumber dari Utang Luar Negeri Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin kesektor yang mendukung pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat jangka panjang.
18,8% dari total utang luar negeri pemerintah difokuskan ke sektor kesehatan dan kegiatan sosial, 16,3% dialokasikan ke sektor konstruksi, 15,8% untuk jasa pendidikan, 15,1% untuk jaminan sosial, pertahanan, dan administrasi pemerintah, dan sektor jasa keuangan atau asuransi sebesar 14,4%.
Aman atau Bahaya?
Saat ini, komposisi penyumbang utang luar negeri terbesar adalah swasta dan sudah menjadi trend dalam 10 tahun terakhir. Pemerintah tak hanya mengacu pada sumber dana luar negeri berupa utang, tetapi juga bergantung pada sumber dana berupa utang domestik atau dalam negeri.
Jika ditelisik dari perbandingan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih berada di level 36,5%, masih jauh dari batas atas sebesar 60% sesuai dengan ketentuan UU no 17 tahun 2013. Ini artinya, rasio utang Indonesia masih termasuk kedalam kategori aman walau perlu juga diperhatikan sebab angka rasionya sudah melampui 30%, artinya sudah melebihi 50% dari batas rasio.
Meski tergolong aman, perlu diperhatikan faktor dari sisi lain yang bisa mempengaruhi tingkat kemampuan membayar utang tersebut. Kenaikan utang ini salah satunya dipengaruhi oleh strategi pembiayaan APBN (Front Loading) untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga AS oleh The Fed yang berpengaruh besar terhadap penentuan suku bunga di pasar. Karena apa? Faktor utamanya adalah karena kita masih berutang menggunakan kurs Dolar AS. Jika The Fed menaikkan suku bunganya 1% saja, maka akan ada peningkatan puluhan triliun Utang Luar Negeri Indonesia dalam kondisi pasif (negara kita tidak melakukan penambahan pinjaman utang luar negeri).
Faktor berikutnya yang jadi pertimbangan adalah Debt to Service Ratio (DSR) yang mencerminkan kemampuan negara dalam membayar utang luar negeri. Ini seringkali diacuhkan oleh pemerintah karena selama ini selalu menjadikan rasio terhadap PDB sebagai bahan pertimbangan utama. DSR membandingkan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dengan jumlah penerimaan ekspor. Rata-rata beban bunga utang luar negeri adalah sebesar 8,12%, maka Utang Luar negeri Indonesia akan bengkak sebesar Rp 445 Triliun setiap tahunnya.