Lihat ke Halaman Asli

Mengkritisi Malnutrisi Generasi

Diperbarui: 17 November 2024   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan laporan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), hanya dua dari 34 provinsi, DKI dan Bali, yang mampu menurunkan prevalensi stunting hingga kurang dari 14% pada tahun 2021 hingga 2022. Terdapat 11 provinsi dengan tingkat stunting antara 14% dan 20%. Bahkan, terdapat lima provinsi dengan tingkat prevalensi stunting 30-35%, yaitu : Aceh, NTB, Papua, dan Sulawesi Barat, dengan NTT yang mencapai rekor tertinggi.

Sementara itu, menurut Kemkopum, Indonesia mengalami beban ganda gizi buruk. Di satu sisi kita mempunyai masalah gizi buruk dan stunting, dan di sisi  lain Indonesia pun terbebani dengan  angka obesitas yang tinggi. Walhasil, Indonesia berusaha menerapkan berbagai tindakan pencegahan untuk mengurangi angka stunting hingga 14% dan menurunkan angka obesitas  hingga 3% pada tahun 2030.

Diperkirakan anak-anak yang mengalami stunting menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) tahunan. Jika dihitung  PDB tahun 2022  mencapai Rp 19,58 triliun, maka kerugian ekonomi bisa mencapai Rp 391 triliun setiap tahunnya. Kerugian ekonomi ini terjadi karena anak stunting biasanya memiliki kesehatan  yang buruk, kurang produktif, bahkan menjadi beban Masyarakat di masa depan.  Lebih lanjut, penelitian bertajuk "The Economic Cost of Early Childhood Stunting to the Private Sector in Low- and Middle-Income Countries" menemukan bahwa  anak-anak yang mengalami stunting sebenarnya merugikan negara berpenghasilan rendah dan menengah hingga 300 miliar di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lalu bagaimana negara ini bisa mengatasi permasalahan stunting yang masih belum terselesaikan meski Indonesia sudah merdeka selama 78 tahun?

Resep Kapitalis : Jalan Buntu 

Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan APBN untuk mendukung kesejahteraan anak di bidang kesehatan dan perlindungan anak sebesar Rp48,3 triliun (2022) dan Rp49,4 triliun (2023). Sedangkan anggaran belanja pemerintah untuk mendukung percepatan penurunan stunting sebesar Rp34,15 triliun (2022) dan Rp30,4 triliun (2023) yang kemudian dirincikan dalam 192 rincian output (RO). Besaran tersebut diperuntukkan tiga jenis intervensi, yakni intervensi spesifik, intervensi sensitif, dan intervensi dukungan yang melibatkan berbagai instansi dan lintas sektor. 

Proporsi intervensi spesifik meningkat menjadi 12%, naik 5% dari 2021 sebesar Rp4,1 triliun yang tersebar pada 87 RO, intervensi sensitif sebesar Rp29,2 triliun di 48 RO, serta kegiatan koordinasi, pendampingan, dan dukungan teknis sebesar Rp861 miliar di 57 RO. 

Sekilas sepertinya pemerintah serius dalam hal menangani stunting, Pun alokasi dana yang dianggarkan tampak besar, tetapi bila dirinci justru anggaran intervensi spesifik hanya sekitar Rp4 triliun, selebihnya dialokasikan untuk intervensi sensitif. Artinya, dengan prevalensi stunting nasional 21,6%, alokasi anggaran peningkatan gizi dan kesehatan  masih sangat minim. Terkhusus, hasil yang langsung masuk ke mulut anak-anak stunting yang masih ternilai kecil sekali. Selebihnya habis untuk kegiatan unfaedah, seperti rapat koordinasi, perjalanan dinas, dan pembangunan pagar puskesmas. Belum lagi persoalan dana yang tidak tepat sasaran. 

Sedangkan intervensi sensitif sendiri, berhubungan dengan penyebab stunting secara tidak langsung yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Contoh intervensi sensitive iala penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta peningkatan akses pangan bergizi. Bila diperhatikan bentuk-bentuk intervensi sensitif ini tidak tepat dikategorikan bagian dari penanganan stunting. Soal penyediaan air minum dan sanitasi ini adalah hajat publik. Infrastruktur untuk akses pangan juga hajat publik. Adapun, peningkatan kesadaran pengasuhan merupakan persoalan pola pikir masyarakat, masalah pendidikan yang semua orang membutuhkan. Apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat secara kolektif, memang harus disediakan negara dalam bentuk layanan terbaik tanpa menunggu musibah datang berupa stunting yang bersifat massal, misalnya. 

Di sisi lain, solusi pemerintah untuk menekan angka obesitas anak harus mendapatkan kritik publik.. Bagaimana bisa menekan angka obesitas dengan membuat regulasi pajak makanan yang mengandung bahan olahan gula, garam, lemak (GGL) yang melebihi ambang batas. Sangat disayangkan,  anak-anak telah menjadi korban, sedangkan pemerintah sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari rakyat. Padahal jelas, obesitas merupakan problem kesehatan dan sosial, tetapi disolusi dengan pendekatan kebijakan fiscal.  Jelas sekali pemerintah benar-benar telah melakukan pengabaian sebagai pengurus atau pelayan urusan rakyat.

Pemerintah memilih kerja seadanya, mengambil keuntungan dalam penanganan obesitas pada anak dengan mengambil pajak yang dibebankan pada produsen. Kebijakan yang  lahir dari ketamakan terhadap materi. Padahal, dapat dipastikan produsen pada akhirnya akan membebankan juga pajak tersebut ke konsumen dengan menaikkan harga jual produk. 

Sungguh miris, negeri ini kaya sumber daya alam, beragam tambang migas, batubara, emas, nikel dan lainnya. Indonesia juga sebagai negara yang mempunyai megadiversitas (keanekaragaman)  hayati dan mega-center keanekaragaman hayati dunia. Namun, penerimaan APBN justru mengandalkan pajak dari rakyat. Negeri yang gemah ripah, kaya sumber pangan, sumber protein hewani, namun generasinya mengalami malnutrisi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline