Srikandi BUMN mengajak perempuan muda di berbagai kampus Indonesia menjadi pemimpin perempuan yang berkualitas dan memiliki daya saing. Dalam rangkaian program Srikandi BUMN Goes to Campus, para perempuan yang tengah berkiprah di jajaran direksi BUMN membagikan inspirasi agar mahasiswi mengembangkan potensinya dan kelak diharapkan bergabung dengan dunia bisnis. "Potensi perempuan yang besar, baik dalam jumlah populasi maupun kualitas SDM harus bisa diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan", gagas Susana Indah Kris di Gedung Samantha Krida pada acara Srikandi BUMN Goes to Campus di Universitas Brawijaya pada Kamis (Antaranews.com, 24/08/23).
Menurutnya, perempuan harus memiliki kompetensi yang memadai untuk mampu berkiprah dan memenuhi target 30% keterwakilan perempuan dalam jajaran pimpinan dan pembuat kebijakan. Srikandi BUMN Goes to Campus sendiri merupakan implementasi konsep kolaborasi dunia bisnis dengan lingkungan akademis sebagai bagian dari program Kampus Merdeka yang dicanangkan oleh pemerintah.
Kampus Merdeka dengan berbagai turunan programnya memang menjadi trend yang cukup sukses menarik minat ribuan mahasiswa. Kini mahasiswa diberdayakan dan diberikan akses langsung untuk mengembangkan minat dan potensinya di berbagai bidang. Antusiasme tinggi pun ditunjukkan oleh mahasiswa. Mereka berlomba untuk mengikuti program magang, pun berlomba hadir dalam setiap seminar-seminar yang diadakan Perusahaan dan Industri. Tak elak, perempuan muda dengan cita-cita menjadi independent woman berpartisipasi aktif dalam setiap program tersebut.
Disadari atau tidak, telah terjadi pergeseran fungsi dan peran Perguruan Tinggi. Yang semula adalah pencetak intelektual sebagai agent of change, social control, dan penerus peradaban, kini justru menjadi lahan investasi Sumber Daya Manusia untuk Industri. Hal ini sejalan dengan skema pendidikan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam General Agreement on Trade in Services (GATS), dimana pendidikan dipandang sebagai services yang harus dikomersialisasi. Lahirlah konsep Knowledge Based Economy yang menjadi pilar dalam perumusan kurikulum Pendidikan tinggi.
Peter F Drucker, pakar, konsultan manajemen dan pengajar di sejumlah universitas di AS, dalam bukunya Management Challenges for the 21st century (1999) mengatakan, "Aset paling berharga bagi perusahaan pada abad 21 adalah ilmu pengetahuan dan pekerja terdidik (knowledge worker). Dengan konsep ini, negara menjadi lepas tangan terhadap urusan Pendidikan dan kampus diberi otonomi penuh untuk mengatur dapur kampus, termasuk keuangan. Dalam implementasinya, tercipta konsep HEXA-HELIX Framework, yaitu kolaborasi antara Academician, Business, Community, Government, Media (ABCGM + aggregator actors), dimana kampus akan menyesuaikan kurikulum Perguruan Tinggi mengikuti trend permintaan pasar dan pemberi dana.
Maka wajar bila dalam setiap kesempatan yang ada, pebisnis akan rajin "blusukan" ke kampus untuk menjalin kerja sama dan menjaring mahasiswa agar tertarik memasuki dunia bisnis mereka. Pun, perguruan tinggi dengan tangan terbuka akan menyambut baik tawaran maupun kunjungan oleh Industri dan Perusahaan, karena jelas terdapat keuntungan yang diperoleh oleh kampus yang kini harus mengelola dana keuangannya sendiri.
Lantas, semakin gamblang gambaran Kapitalisasi Pendidikan yang membuat arah pandang intelektual mahasiswa sebatas kerja, kerja, dan kerja. Mahasiswa kemudian terkikis kepekaannya terhadap problem dan isu keumatan. Mereka menjadi individu yang apatis, apolitis, pragmatis, dan oportunis. Kampus menjadi tak elaknya peternakan manusia yang hanya menghasilkan lulusan dengan titel akademisi namun menjadi konsumsi dan budak korporat.
Arah Pendidikan yang demikian tentunya sangat berbahaya bagi wajah masa depan generasi dan peradaban, terkhusus perempuan. Program-program kampus Merdeka yang juga sejalan dengan agenda pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) kemudian akan menguatkan cara pandang materialis sekuler di benak perempuan muda. Mereka dengan suka rela mengerahkan tenaga dan intelektualitasnya tanpa menyadari bahwa hal itu adalah bentuk pembajakan potensi. Visi perempuan muda menjadi kerdil, sebatas eksis, gaji tinggi, padahal sejatinya hanya Pekerja korporasi.
Perempuan muda seolah dibius sehingga mati fitrah keperempuanan mereka. Banyak yang mulai mengutamakan karir dan eksistensi publik dibanding peran sebagai ibu atau istri dengan memilih tidak menikah hingga free child. Munculah fenomena degradasi moral intelektual terpelajar. Mereka mapan secara ekonomi, namun terjerat pergaulan bebas, stress kronis, hingga depresi. Demikianlah gambaran kerusakan yang akan menimpa perempuan dan umat bila perempuan terus terarus dan menjadi agen pengokoh peradaban kapitalis.
Maka patutlah kita menyadari, bahwa kita tidak bisa bertahan dan mempertahankan sistem yang rusak dan merusak ini. SIstem yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sistem yang jelas tidak akan mampu menyelesaikan problem secara tuntas karena dibuat oleh manusia yang lemah dan terbatas. Sudah selayaknya kita kembali kepada sistem hidup yang jelas tidak akan gagal dan salah sasaran. Sistem yang diturunkan oleh pencipta manusia, yang paling tahu kebutuhan dan segala yang terbaik untuk manusia, Apa lagi kalau bukan sistem Islam? Yang telah jelas menjawab seluruh problematika kehidupan lewat pengaturan-pengaturan hidup yang termaktub dalam Al-Qur'an.
Dalam Islam, Pendidikan adalah hak Asasi bagi setiap individu. Rasulullah saw. bersabda, "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim" (HR. Baihaqi). Maka, hak ini wajib dipenuhi segera oleh negara. Pemimpin dalam negara Islam, yaitu khalifah, digambarkan sebagai penggembala yang harus senantiasa memastikan gembalaannya gemuk, terpenuhi kebutuhannya, dan terjaga keamanannya.