Lihat ke Halaman Asli

NTB (Nir) Oposisi

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Jhellie Maestro

BULAN puasa setahun yang lalu, disela-sela agenda berbuka, teman-teman Lombok Blogger Community (LBC) dan Jaringan Islam Kampus (Jarik) Mataram menyatakan keresahannya dalam sebuah forum diskusi bertema “Refleksi satu tahun kepemimpinan TGH. Zainul Majedi (bajang) dan Badrul Munir (BM)”.

Keresahan anak-anak muda itu berawal dari sebuah pertanyaan, mengapa lebih dari setahun kepemimpinan Bajang dan BM tak ada terobosan berarti yang terlihat? Mengapa dinamika politik juga terkesan miskin jauh beda jika dibandingkan dengan saat kepemimpinan L. Serinate? Para peserta mengungkapkan, berita politik NTB saat ini hanya berisi agenda silaturrahim dan kunjungan sana-sini Gubernur dan wakilnya.

Keresahan seperti ini bukan tidak beralasan karena memang, pasca kemenangannya dalam pilkada setahun silam, visi-misi bajang-BM yang saat itu begitu antusias di kampanyekan seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, jaminan hak-hak minoritas dan banyak lagi yang lain ternyata hingga hari ini belum benar-benar dirasakan masyarakat. Namun siapa yang pernah bertanya soal visi-misi ini? Adakah yang pernah melakukan kualifikasi apakah kebijakan-kebijakan harus dilakukan, atau tidak harus dilakukan, atau malahan harus tidak dilakukan sama sekali.

Nampaknya, angka dukungan nyaris 90% kepada pasangan bajang-BM pada pilkada setahun silam berakibat serius pada mandegnya demokrasi yang ditandai dengan keringnya oposisi baik di tingkat kultural maupun struktural. Masyarakat terkesan enggan berkomentar tentang Gubernur pilihannya sementara ditingkatan elit, para oposan, yang awalnya adalah lawan politik bajang telah masuk dalam pemerintahan.

Yang terjadi akhirnya adalah terkerangkengnya nalar massa dalam Silent Mojority alias moyoritas masyarakat yang diam. Diam yang tak mengerti akan berbuat apa dan bagaimana. Rakyat yang menikmati keadaan yang sesungguhnya tak pantas dinikmati.

Betapa Pentingnya Oposisi

Proses politik yang sehat mengandaikan adanya kekuatan besar yang berkuasa dan adanya kekuatan penyeimbang agar kekuasaan tidak semena-mena. Dalam politik dinamakan posisi dan oposisi. Posisi adalah penguasa dan oposisi adalah mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan dan menjadi pengontrol kebijakan. Kontrol yang ketat dari oposisi atas kekuasaan diharapkan mampu memberi keadilan dalam setiap pengambilan keputusan.

Kecenderungan bahwa kebijakan tak selalu tepat dan benar menjadikan barisan oposisi sangat penting agar tak terjadi otoritarianisme kekuasaan. Barisan oposisi diharapkan muncul sebagai wacana dan sikap tanding dari setiap kebijakan yang diputuskan penguasa (pemerintah). Sesuatu yang naif, jika dalam sebuah kekuasaan, setiap keputusan berjalan dengan mulus-mulus saja tanpa kritik dan yang menyampaikan wacana berbeda.

Menyampaikan wacana berbeda perlu mendapat catatan khusus karena oposisi kerap disalahtafsirkan dengan sikap mencari-cari kelemahan dan kesalahan lawan poltik. Harus dicatat, oposisi bukanlah sekadar serangan terhadap lawan politik dengan mengkritik semua kebijakan dengan satu petimbangan yang penting ‘melawan’. Melainkan oposisi adalah sikap negarawan seseorang untuk menyatakan yang berbeda untuk kepentingan bangsa dan negara. Bahwa oposisi harus siap kontra memang iya, tapi oposisi juga mesti siap pro ketika kebijakan tersebut patut didukung karena bermanfaat untuk rakyat.

Siapa saja yang bisa berlaku oposisi?. Dalam sistem perpolitikan kita, ada beberapa kelompok yang bisa berlaku menjadi oposisi.

Pertama partai politik. Partai masih menjadi tumpu paling berpengaruh dalam politik kita. Hal ini karena sistem kepartaian yang kita punya mengandaikan konstituen partai tersebut berada di semua lapisan masyarakat. Akhirnya, rekrutmen, kekuatan serta pengambilan keputusan di internal partai menentukan sikap penguasa karena partai membawa suara rakyat konstituennya. Karenanya, partai politik berada di posisi paling strategis untuk melakukan hal ini.

Yang kedia media. Media sebetulnya bukan sekadar ‘bisa jadi’ oposisi tetapi bahkan wajib. Medialah yang bertanggungjawab secara sosial-kultural untuk membangun demokrasi yang lebih sehat karena hanya media yang berpotensi independen dan bebas. Media yang memerankan diri sebagai oposisi dapat mengontrol semua pihak, penguasa, oposan itu sendiri dan juga rakyat.

Yang berukutnya seorang tokoh. Tokoh dalam hal ini bisa dari organisasi, bisa dari tokoh agama, bisa juga dari kalangan budayawan. Tokoh berpotensi menjadi oposisi karena kapasitasnya yang besar serta juga segmentasi massa yang jelas.

Keempat, oposisi parlemen jalanan. Ini identik dengan kaum aktifis, mahasiwa, buruh, tani dan masyarakat sipil yang lain. Dikatakan parlemen jalanan karena biasanya aspirasi mereka tertumpahkan di jalan-jalan dengan kegiatan terutama aksi demonstrasi. Mereka juga bisa melakukannya dengan pernyataan-pernyatataan di media serta hearing dengan para pemegang kebijakan.

NTB (Nir) Oposisi

Begitu banyak elemen masyarakat yang bisa melakukan kontrol terhadap penguasa. Namun di NTB nampaknya keempat-empatnya mati suri. Kepemimpinan bajang-BM telah meredam semua dinamisasi politik NTB kompak dan seirama. Pantas dinamika politik menjadi kering.

Partai yang paling diharapkan sudah lebih banyak mementingkan internal partai masing-masing, media bahkan telah berkontribusi menciptakan vakumnya masyarakat dalam kondisi yang tiadak cerdas. Begitu juga tokoh-tokoh yang selayaknya mampu memerankan diri turut diam persis sepeti yang terjadi di kalangan aktifis dan mahasiswa yang terkenal kritis. Bajang-BM akhirnya benar-benar sedang memerintah tanpa oposisi.

Entahlah, hingga puasa akan datang kembali, kondisi ini masih terus berlangsung. Ancaman bahwa demokrasi akan mati di NTB cukup mengkhawatirkan. Apalagi, masih dalam diskusi sela buka puasa setahun lalu itu, terkuak informasi cukup penting, bajang dan BM saat ini belum mampu menggerakkan roda pemerintahannya hingga ke bawah. Kecanggihan ide-ide dua pemimpin itu belum mampu ditafsirkan secara baik oleh bawahan-bawahannya.

Jika pemerintahan terus terbentuk tanpa oposisi seperti ini, kita khawatir Bajang-BM akan memunculkan kekuasaan otoriter sepanjang sisa pemerintahannya. Otoriter bukan saja dalam pengertian kekerasan politik secara fisik namun juga kekerasan dalam sebentuk kebijakan yang tak pro rakyat. Lalu, kemana lagi kita akan berharap?.[]

* Aktifis Lembaga Studi Kemanusiaan (LenSA) Mataram

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline