Lihat ke Halaman Asli

Tren Mahasiswa ke Luar Negeri: Terus Apa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam itu malam deep sharing, saya menceritakan bagaimana perjuangan saya hingga bisa sampai ke Konya, Turki seminggu lalunya. Didukung dengan setting lampu yang padam dan lilin di tengah-tengah, mereka memperhatikan dengan saksama. Dapat saya lihat pasang-pasang mata yang kagum dan dalam penuh penghayatan. Seusai cerita, saya malah ‘ditampar’. ‘Alhamdulillah, terima kasih WiratifMuda’, singkat saya.

Fenomena Mahasiswa ke Luar Negeri

Di semester ketiga, saya baru menyadari bahwa ternyata banyak sekali fenomena mahasiswa khususnya S1 berbondong-bondong ke luar negeri, baik mengikuti kompetisi, konferensi, summit, paper presentation, summer school, atau short study. Namun yang sering terpampang adalah konferensi, perlombaan, dan paper presentation mengingat ada kontraprestasi standar yang mewajibkan penerima sponsor untuk memasang logo perusahaan atau sponsor yang bersangkutan untuk tujuan branding. Alhasil, hampir tiap minggu saya memperhatikan ada saja foto-foto berpenampilan ‘necis’ dengan logo-logo perusahaan dibawahnya. Karena terlalu sering, saya pun sudah tidak terpana lagi dengan simbol-simbol tersebut.

Hingga muncul pertanyaan? Apa sebenarnya yang mereka, para achiever itu memaknai keberangkatan mereka ke luar negeri? Apakah membawa idealisme yang diniatkan untuk mengharumkan nama bangsa dan pembuktian bahwa SDM muda Indonesia berkualitas? Atau hanya sebuah gaya hidup dimana ke luar negeri merupakan sebuah aktivitas umum yang cukup bergengsi? Struktur pun mendukung mahasiswa untuk ke luar negeri. Dalam Pedoman Mahasiswa Berprestasi Nasional 2013 dapat dilihat jika syarat untuk menjadi seorang Mapres adalah memiliki Curriculum Vitae yang baik dengan penilaian prestasi pencapaian dan pengakuan yang dikuantifikasi berdasarkan tingkat wilayah. Terhitung yang paling rendah provinsi hingga  internasional yang tertinggi. Memang hal tersebut adalah cara termudah membuat indikator.

Dulu, saya berpandangan ‘apa sih enaknya ke luar negeri? Buang-buang waktu dan uang saja. Lebih baik uang puluhan juta untuk diputarkan sebagai modal bisnis’. Hampir dua semester saya mempertahankan opini tersebut, didukung dengan lingkungan organisasi kewirausahaan saya yang notabenenya sangat perhitungan dalam menggunakan uang. Toh, nyatanya banyak juga teman-teman saya dan mahasiswa yang pernah ke luar negeri setelah mereka pulang tidak banyak memberikan perubahan. Konteks perubahan disini menurut saya, paling minimal adalah menginspirasi. Ibarat angin yang datang dan berlalu begitu saja. Belum lagi ratusan foto-foto yang diunggah ke media sosial yang berisi dokumentasi perjalanan mahasiswa di luar negeri baik foto main event-nya atau foto jalan-jalannya. Padahal ada dua kemungkinan opini viewer, pertama, ia terinspirasi lalu bersemangat untuk ke luar negeri juga. Kedua, ia tertegun dan minder lalu menggumam ‘saya lebih butuh kisah insipratif dibanding gambar-gambar ini’. Maka semakin apatislah saya terhadap mahasiswa yang ke luar negeri.

Namun, semua perspektif itu berubah ketika saya menjadi bagian dari ‘santri asrama’. Hampir di tiap Rabu malam ketika family meeting, kami membentuk kultur sharing ketika ada salah satu dari kami pulang dari luar negeri, kami harus membagi ilmu dan pengalaman logis hingga absurd selama di perjalanan. Saya pun merangkum hasil pemikiran-paradigma dan diskusi para pelancong tersebut. Saya pun akhirnya setuju dengan pemahaman ketika kita di luar negeri lalu ditujukan untuk mencari ilmu, memperkaya perspektif, dan menambah pengalaman kehidupan (tidak hanya akademis saja, apalagi menambah daftar CV) tentu akan menjadi sebuah investasi pendidikan di masa yang akan datang. Jangan pula kita membenturkan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan aktualisasi diri. Dosen saya pun waktu itu berujar bahwa rasa nasionalisme kita dapat dirasakan ketika kita berada di luar negeri. Sungguh alasan yang logis ketika kita ingin mengukur dan memperbandingkan sesuatu tentunya kita harus berada di luar framework dan realitas yang ingin diuji. What a statistics effect!

Akumulasi prinsip-pengetahuan tersebut akhirnya memutuskan saya untuk mencoba ke luar negeri. Dengan pertimbangan negara yang akan saya kunjungi harus memiliki struktur sosial, budaya dan sejarah yang unik agar saya memperoleh banyak ilmu dan perspektif ketika pulang. Allah pun merestui niat tambahan saya yang ingin mencari link bisnis dan berjejaring dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di sana.  Mata saya tertuju pada sebuah negara yang pernah menjadi pusat peradaban, mayoritas muslim, sempat bersturktur otoriter-sekuler, dan memiliki batas teritorial gabungan benua Eropa dan Asia. Dan kebetulan kota tempat konferensi yang saya datangi ber-brandingCity of Civilization’ karena terdapat makam Jalaluddin Rumi, seorang sufi romantik dari Konya. Sungguh, saya mau bercerita pengalaman saya di Turki di lain kesempatan :)

Perspektif Lain

Sepulangnya saya dan teman saya dari Turki, mengingat perjuangan kami yang sangat dimudahkan oleh Allah, menginspirasi adalah harga mati minimal yang harus dilakukan. Entah dalam tulisan, buku, atau sekadar diskusi. Sumpah saya kepada diri saya sendiri yang berucap ‘lihat saja, malam Rabu depan saya yang akan presentasi di family meeting’ akhirnya terwujud. Hampir satu setengah jam saya bercerita bagaimana saya bisa menuju negara Erdogan tersebut. Sampai suatu malam, saya juga diminta untuk bercerita kepada lovely team saya WiratifMuda Indonesia, di salah satu kontrakkan teman saya. Dengan rentang waktu yang sama –sekitar satu setengah jam juga, mereka memuji dan bertepuk tangan atas paparan saya. Hingga saudari saya, Yunia Vivi Kartika, memberikan sebuah insight lain atas fenomena mahasiswa yang ke luar negeri.

Kurang lebih kalimatnya berbunyi ‘Subhanallah Jhane, saya mendukung kamu ke luar negeri tapi kalau untuk urusan research dan presentasi paper lebih baik tidak usah’. Sontak saya kaget mengapa dia berpendapat demikian, tidak adakah sedikit rasa pengertian atas usaha  dan sharing yang lakukan tadi? Saya sadar, ‘benturan’ opini adalah sebuah nikmat menjadi seorang mahasiswa dan calon intelektual. Saya mendengarkan alasannya meski saya tahu penjelasannya kadang terlalu general, konspiratif, dan lemah elaborasi. Dia berkata kita harus sadar bahwa research dan inovasi adalah karya mahal yang seharusnya tidak dirilis begitu mudahnya.

Vivi pun mendapatkan insight ini hasil dari berdiskusi dengan pihak Kementrian Luar Negeri (saya lupa namanya) ditambah pihak dari DIKTI. Sangat disayangkan jika research yang dibuat oleh mahasiswa khususnya yang menjelaskan struktur dan kultur bangsa Indonesia lalu dengan mudahnya dipresentasikan di luar negeri. Tentunya ini adalah strategi bagaimana negara lain dapat dengan mudah mengetahui kekurangan dan kelebihan bangsa kita dengan cara yang dicitrakan seprestise mungkin. Apalagi kalau bukan dengan menyelenggarakan international conference, call for paper, summit, dan research meeting bertemakan ranah strategis seperti ekonomi, politik, pariwisata, bisnis, dan lainnya. Mengapa saya tidak memikirkan ya, padahal ini amat sosiologis?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline