Dua tahun lalu, saat Covid-19 masih merebak menakuti semua orang, ketahanan pangan menjadi isu penting yang menarik dan selalu hangat diperbincangkan di sana sini. Termasuk dalam rumah tangga kami.
Saat itu saya jadi semangat banget ingin ikut menanam sayuran apa saja yang bisa dimakan, berjaga-jaga ketika keluarga harus isolasi mandiri dan tidak bisa keluar ke pasar. Lahirlah cerita ini..
Ketahanan Pangan Berujung Huru Hara
Siang itu saya mengirim pesan melalui Whatsapp Messenger pada suami, isinya meminta tolong padanya untuk segera pulang ke rumah karena saya ingin diantar ke suatu tempat. Sengaja tidak saya beritahu kemana, karena ya memang tidak ingin saja.
Lalu suami pun pulang cepat, alhamdulillah. Biasanya sampai rumah jam 5 sore, namun saat itu jam 4 sore ia sudah sampai dan siap mengantar saya sesuai instruksi.
"Yuk jadi berangkat ya?" tanya suami saya setelah merendam seragamnya sendiri sebelum menjumpai kami (saya dan anak perempuan kami satu-satunya). Semua karena seruan protokol kesehatan dari Pemerintah, suami saya jadi sangat tertib menjaga kebersihan.
"Jadi dong Beb, aku siap-siap dulu yaaa."
Kami pun berangkat, tidak lupa mengenakan masker dan berbekal hand sanitizer. Saya memberi tahu kemana tujuan kami saat itu dan suami melajukan motornya cepat, hingga kami sampai di sana tidak lebih dari 10 menit waktu tempuh perjalanan. Iya, kami ke pasar bunga.
Suami saya nampak bingung memang saat itu, untuk apa ke kebun bunga?
"Buk bibit kangkung dan sawinya ada?" tanya saya pada salah satu penjual bibit sayur dan bunga.
"Ada Mbak, sebentar ya.." jawab Ibu penjual sambil melangkah ke dalam untuk mengambilkan bibit yang saya minta.