Lihat ke Halaman Asli

Jetho Lawet

Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Wajah dalam Segelas Kopi

Diperbarui: 23 Mei 2021   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu menenteng tas ransel yang menggelembung seperti wanita yang lagi hamil. Entahlah apa yang diisinya. Langkahnya berat. Mungkin karena beratnya beban yang ditentengnya. Kepalanya nampak mondar mandir. Sebentar ke kiri, kemudian ke kanan. Ibarat seorang pencuri yang sedang ketakutan ditangkap basah oleh massa. Tubuhnya yang uzur dan miskin lemak dibalut kemeja putih dan celana panjang krem. Semakin dekat sosok lelaki itu makin jelas. Wajahnya begitu lusuh. Penuh dengan kerutan-kerutan digerus masa. Rambut di kepalanya pun sudah mulai ranum. Memberikan pengertian bahwa ia sudah tak muda lagi. Entah berapa. Aku sendiri tak tahu pastinya. Sederet giginya sudah tidak lengkap menguning seperti padi di sawah menjadi signal bahwa ia adalah seorang penghisap dan penghembus asap rokok.  

Siang itu rupanya tak lagi bersahabat. Langit begitu kelam, memikul beban berat awan yang sebentar lagi rontok menjadi tetesan air hujan. Ketakutan disergap hujan, pak tua itu mempercepat langkah kaki. Menjelajahi sepanjang jalan Mrican yang sesak oleh kendaraan bermotor.

"Mau ke mana pak?" Pertanyaanku membuatnya kaget.

"Aku mencari tempat kerjaku mas," jawabnya singkat.

  Merasa heran atas jawaban pak tua itu, aku menepikan motor. Kemudian bertanya lagi.

 "Tempat kerjanya dimana ya, pak?"

Sejurus kemudian pak tua itu membeberkan segudang alasan mengapa sampai ia berada di tengah kebisingan kota Jogjakarta. Seminggu yang lalu, ia datang bersama beberapa temannya sebagai buruh bangunan. Setelah seminggu bekerja, ia ingin menghabiskan akhir pekannya bersama istri dan anak-anaknya di kediamannya di Magelang. Sepulangnya dari Magelang, ia kebingungan mencari tempat kerjanya. Maklum ia masih tergolong sebagai pendatang baru di kota Jogjakarta. Selama seharian semenjak kepulangannya dari Magelang, ia hilir mudik kesana kemari mencari tempat yang ditujui namun tak kunjung ditemuinya. Masih segar dalam ingatanya, sebuah mushola dan kampus Sanata Dharma. Hanya itu yang terekam dan parkir di kepalanya. Maka berbekal secuil ingatnnya itu, aku memberanikan diri mencari.

Petualangan mencari tempat kerja itu terhenti pada sebuah warung kopi sebab hujan semakin lebat. Segera kupesan dua gelas kopi untuk mengahangatkan tubuh yang menggigil oleh sengatan sejuk udara soreh itu.

"Oh iya pak, kenalkan saya Alfred." sambil menyodorkan tangan.

"Nama saya Kobus, mas." sahutnya.

"Silahkan diminum pak!"aku mempersilahkannya ketika segelas kopi itu disajikan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline