Lihat ke Halaman Asli

Jetho Lawet

Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Xenoglosofilia Kaum Milenial

Diperbarui: 23 Mei 2021   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

 

Perilaku kebahasaan kaum muda di era milenial dalam komunikasi semakin aneh bin ajaib sehingga menyedot perhatian. Kebiasaan mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing sudah menjadi perilaku linguistis yang tak dapat dihindarkan apalagi ditolak. Bernadette Kushartanti, Pakar Linguistik dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan risiko dari kontak bahasa (Suratkabar.id 13/9/2018). Fenomena ini bukanlah sebuah peristiwa alam yang mau tidak mau dibiarkan mengalir secara alamiah, tetapi merupakan fenomena sosial linguis yang harus direspon untuk segera dicarikan strategi untuk menghadapinya.

Ketika membuka akun media sosial Facebook, saya tergelitik dengan status yang ditulis oleh pengguna akun Facebook Muh Rizal yang berasal dari Indonesia. “Indahnya samsat di sore hari..makanya jangan suka jungle org sembarangan..ingat karma is rael.” Postingan ini kemudian direspon ,  Denni Manongga dengan menggunggah kembali sambil memberi komentar, “Ketika your English language only sedikit2..omaigat…jang ba paksa lea.

Bukan hanya itu, perilaku kebahasaan kaum muda di Jakarta Selatan lebih  yang dikenal dengan sebutan wicis. Bentuk percampurannya kira-kira demikian, “Gosah pada ribut ama anak Jaksel ngomong wicis kalo belom denger cainis Suroboyo yang literally juga ngomong wicis medok but berusaha ketok lit and cool af. Basically mereka juga ngomong keak gitu kok masio ndek enggok2an.” 

Kaum milenial biasanya mencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam komunikasi. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya percampuran ke dalam bahasa lain. Lebih menggelitik ketika melihat pedagang kaki lima yang membuka usaha tahu goreng. Bagian depan kaca gerobaknya tertera tulisan,”Kuch Kuch Hot Tahu.”

Fenomena-fenomena linguistik tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya fenomena xenoglosofilia yang marak terjadi di kalangan milenial. Realitas yang disuguhkan tersebut di atas memberikan gambaran miris bahwa begitulah bahasa Indonesia yang menjadi Bahasa nasional diperlakukan di rumahnya sendiri. Rasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang telah menempatkan bahasa itu sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia semakin hari semakin melorot. Kaum muda lebih merasa bangga, elit ketika menggunakan bahasa asing ketimbang Bahasa Indonesia seperti yang dikatakan oleh Ivan Lenin, penulis buku ”Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?” bahwa pencampuran bahasa dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Inilah konsep keliru yang hidup di kalangan milenial. Menjadi pertanyaan, apakah dengan menggunakan bahasa Indonesia, tingkat intelektualitas pengguna menurun , rendah, atau bahkan luntur? Saya pikir tidak demikian. Oleh karena itu, perilaku ini tidak perlu disikapi sebab jika tidak, maka bukan tidak mungkin Bahasa Indonesia akan tercerabut dari negerinya sendiri. Mungkinkah ada secercah harapan bahwa Bahasa Indonesia bakal berkembang di Indonesia? Inilah pertanyaan bagi kita bersama yang juga dipertanyakan oleh Ivan.

Fakta linguitis dengan adanya xenoglosofilia nampaknya kontrakditoris dengan apa yang digaungkan dalam Kongres Bahasa Indonesia XI yang telah digelar di Jakarta, 28 Oktober-1 November 2018. Forum besar lima tahunan mengusung tema ”Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia” tersebut digelar bertepatan dengan peringatan 80 tahun Kongres Bahasa I di Solo, 25-28 Juni 1938, dan 90 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Alih-alih menjayakan bahasa dan Sastra Indonesia, kaum muda yang merupakan generasi penerus bangsa malah ‘menjajah’ bahasanya sendiri. Jika demikian yang terjadi, bagaimana dengan nasib bahasa Indonesia di kemudian hari?

Xenoglosofilia Ancam Bahasa Indonesia

            Lahirnya xenoglosofilia disignalir merupakan konsekuensi logis adanya kontak bahasa seperti yang dikatakan oleh Bernadette Kushartanti. Sebagai seorang Pakar Linguistik dari Universitas Indonesia, Bernadette melihat fenomena tersebut tidak  mengkhwatirkan. Ia mencoba untuk melihat fenomena linguistik tersebut dari dua sisi. Menurut beliau di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi di sisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal, maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing papar wanita bergelar doktor tersebut (Suratkabar.id 13/9/2018).

Menyoal pandangan Bernadette dalam kapasitasnya sebagai Pakar Linguistik, penulis merasa tergugah untuk melihat lebih dalam fenomena linguitik tersebut. Menurut penulis problem bukanlah masalah ‘kacangan’ yang tidak berdampak besar pada perkembangan bahasa. Jika tidak direspon secara serius maka bukan tidak mungkin akan terjadi persoalan lain yang lebih akut. Bagi penulis fenomena tersebut merupakan sebuah ancaman terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Bagaimana mau berkembang jika tidak dihargai oleh generasi muda sendiri?

Ketergugahan penulis sebenarnya disulut oleh pertanyaan, apakah benar bahwa bahasa yang formal selalu membuat penutur menjadi terasing? Saya pikir tidak. Bahwa bahasa yang formal itu baku menjadi sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Tetapi apakah yang benar dan baku tersebut tidak membuat penutur menjadi teralienasi dari komunitas tutur. Saya pikir pernyataan tersebut terlalu naïf.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline