Lihat ke Halaman Asli

Patricia

undergraduate student

Industri Penyiaran dan Kreatif Diuntungkan karena Migrasi Televisi Analog ke Televisi Digital

Diperbarui: 14 Agustus 2021   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Migrasi siaran televisi analog ke siaran televisi digital adalah salah satu amanat dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tertuang pada Pasal 60A. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital akan diselesaikan paling lama 2 tahun sejak UU Cipta Kerja diberlakukan. Penyelenggaraan siaran tersebut dilaksanakan seiring dengan berkembangnya teknologi. Akibatnya, siaran televisi analog di Indonesia akan segera digantikan oleh siaran televisi digital selambat-lambatnya pada tanggal 2 November 2022.

Arsyad (2012) dalam Nurizar (2020) menjelaskan bahwa tujuan digitalisasi adalah untuk penghematan frekuensi. Hal tersebut sangat penting karena frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas tetapi sangat penting dalam dunia telekomunikasi. Spektrum yang digunakan dalam penyiaran televisi terbagi menjadi beberapa saluran di pita VHF dan UHF. Seiring dengan peningkatan kebutuhan spektrum dan perkembangan teknologi, efisiensi spektrum adalah aspek penting untuk memaksimalkan penggunaan. Oleh karena itu, migrasi televisi analog ke digital yang kemudian disebut dengan analog switch off (ASO) penting untuk diterapkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Siaran, terdapat 5 tahapan migrasi televisi analog ke televisi. Tahapan pertama akan dilaksanakan paling lama tanggal 17 Agustus 2021. Tahap kedua paling lambat 31 Desember 2021, tahap ketiga paling lambat 31 Maret 2022, tahap keempat paling lambat 17 Agustus 2022, dan tahap kelima paling lambat 2 November 2022. Adapun tahapan kelima adalah tahap cadangan. Diharapkan pada tahap keempat, Indonesia telah berhasil migrasi ke penyiaran digital sepenuhnya. Hal tersebut disampaikan oleh Geryantika Kurnia, Direktur Penyiaran, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo dalam kesempatan sosialisasi dan pelaksanaan digitalisasi penyiaran dan penghentian siaran yang dikutip dari siarandigital.kominfo.go.id.

Disadur dari tribunpontianak.co.id, Kemkominfo menyampaikan bahwa televisi digital disedakan dengan layanan free to air (FTA), bukan memlalui streaming internet lewat gawai. Bukan juga TV berlangganan lewat kabel atau satelit, atau smart TV yang terhubung dengan internet. Untuk menikmati siaran televisi digital, harus dipastikan terlebih dahulu daerah tersebut sudah memiliki siaran televisi digital. Selanjutnya, pastikan terdapat antena UHF baik antena luar rumah (outdoor) maupun antenna luar rumah (indoor) yang bisa digunakan untuk menangkap sinyal televisi analog. Pastikan juga bahwa televisi telah dilengkapi dengan fasilitas penerima siaran televisi digital DVBT2. Jika televisi hanya bisa menerima siaran analog, televisi tersebut harus dipasangkan dekorder set up box (STB) yang sudah dijual di pasaran dengan kisaran harga Rp200.000.

Lantas, apa yang membedakan siaran televisi analog yang saat ini digunakan dengan televisi digital? Dikutip dari Lifewire dan Techwalla, Perbedaan utama antara televisi analog dan digital adalah cara sinyal ditransmisikan dari sumber ke TV yang ada di rumah. Sinyal TV analog memiliki kemiripan dengan sinyal radio. Sinyal video TV analog ditransmisikan dalam bentuk gelombang AM, sedangkan audio ditransimisikan dalam bentuk gelombang FM. Sama halnya dengan sinyal radio, proses transmisi sinyal televisi analog juga dapat mengalami gangguan. Selain itu, semakin jauh jarak sumber pemancar dengan televisi, sinyal akan semakin sulit diterima. Hal tersebut dapat mengurangi kualitas tontonan seperti video yang tidak jernih dan suara yang putus-putus. Berbeda dengan TV digital, TV digital mentransmisikan sinyal dalam bentuk data yang yang sudah dikompres. Data tersebut berupa angka biner yang terdiri dari kombinasi 1 dan 0. Dengan cara tersebut, sinyal tidak akan mengalami gangguan atau kehilangan sinyal seperti yang dapat terjadi pada sinyal analog. Kesimpulannya, TV digital akan menghasilkan kualitas video dan suara yang jauh lebih jernih dibandingkan sinyal analog.

Perbedaan lainnya adalah transmisi TV digital memiliki kemampuan untuk menayangkan program dalam format rasio aspek layar lebar atau yang lebih dikenal dengan HD dalam ukuran 16:9. TV analog hanya bisa mentrasmisikan video dengan rasio aspek 4:3. Itulah penyebab ketika kita menonton televisi, terdapat bagian di atas dan bawah TV yang berwarna hitam. Dengan TV digital, video akan tampil penuh memenuhi layar televisi.

Seperti yang telah disinggung pada beberapa paragraf sebelumnya mengenai digitalisasi, digitalisasi dianggap ampuh sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan dan infesiensi pada siaran analog. Siaran digital dapat menampung lebih banyak saluran siaran. Hal itu dapat terjadi karena dalam sistem digital, satu kanal dapat diisi dengan 6-12 saluran siaran. Berbeda dengan sistem analog yang setiap kanalnya hanya dapat menampung satu saluran saja. Infrastruktur penyiaran seperti menara pemancar, antena, dan saluran transmisi cukup dengan menggunakan satu alat saja untuk banyak siaran. Ini merupakan kabar baik karena berarti akan terjadi penghematan biaya untuk pengadaan dan perawatan menara pemancar.

Jatah frekuensi televisi swasta nasional saat ini sudah penuh karena masih menggunakan sistem analog. Ditambah dengan adanya saluran televisi nasional daerah, membuat jatah saluran televisi lokal semakin sempit karena keterbatasan kanal. Dengan kemampuan kanal digital untuk menampung saluran yang jauh lebih banyak daripada kanal analog, hal ini tentu akan membuka peluang baru bagi industri penyiaran. Akan ada ruang-ruang baru untuk saluran siaran baru. Dengan menyajikan konten-konten yang sesuai dengan segmentasi pasar, tentu akan mendatangkan penonton-penonton baru.

Seperti yang kita ketahui saat ini, tidak banyak lagi generasi Z yang berminat untuk menonton televisi. Hal tersebut disebabkan oleh mutu tayangan TV yang sangat rendah. Banyak generasi Z yang lebih memilih menonton lewat platform streaming. Kebanyakan tontonan tersebut pun berasal dari luar negeri. Dengan adanya digitalisasi, diharapkan industri kreatif dan penyiaran dapat membawa angin segar ke dunia perfilman tanah air. Sudah saatnya Indonesia memperbaiki kualitas tontonan televisi.

Selama ini kita mengenal hampir seluruh sinetron Indonesia ditayangkan dalam episode panjang yang tak berkesudahan. Semakin lama, isi cerita sinetron pun semakin kacau. Tidak jauh berbeda dengan sinetron yang memiliki plot yang hampir sama dengan sinetron lain. Infotainment dan variety show pun hanya mengundang orang-orang yang terkenal bermodalkan ‘cari sensasi’. Itulah kualitas tontonan Indonesia yang banyak disetujui masyarakat. Namun, jika industri baru ini nantinya serentak melahirkan kualitas tontonan baru yang bermutu, perlahan-lahan kualitas perfilman Indonesia pasti akan melesat tinggi. Hal ini akan membawa keuntungan lainnya, yakni terbukanya lapangan pekerjaan baru.

Industri penyiaran dan kreatif pasti akan membutuhkan sumber daya manusia yang banyak untuk bekerja baik di balik layar maupun di depan layar. Sutradara, produser, scriptwriter, soundman, dan segala profesi yang berkaitan dengan dunia penyiaran akan sangat dibutuhkan nantinya. Terlebih lagi dengan kualitas tayangan yang sangat jernih, akan dibutuhkan keterampilan serta perhatian terhadap detail. Jasa make-up artist akan sangat dibutuhkan untuk memastikan seluruh aktor tampil sempurna dalam tangkapan kamera. Dengan kualitas tontonan yang baik, tidak menutup kemungkinan akan banyak karya-karya Indonesia yang merambah ke kancah internasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline