Lihat ke Halaman Asli

Mengkritik Bias Kemanusiaan Muslim Indonesia

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Konflik Gaza meletus pada 8 Juli 2014, kaum Muslim di Indonesia spontan melayangkan kecaman pada Israel dan menyerukan gerakan untuk menyelamatkan Palestina. Gerakan-gerakan ini memiliki pola tersendiri. Demonstran-demonstran serentak turun ke jalan dan menyerukan jihad melawan Israel. Seruan memboikot Israel mengudara, walaupun targetnya seringkali salah sasaran (seperti McDonald atau KFC, yang merupakan franchise yang dimiliki orang Indonesia). Pemuka agama di masjid dengan berapi-api mengutuk Israel sekeras-kerasnya. Gambar-gambar gedung yang hancur atau anak-anak yang menangis pun disebarkan di media massa dan media sosial dengan maksud untuk membangkitkan emosi orang yang melihatnya, walaupun beberapa di antaranya merupakan hasil rekayasa atau gambar dari konflik di tempat lain yang dibuat seolah terjadi di Palestina. Begitu pula berita-berita palsu seperti tentara Israel menginjak anak kecil (yang ternyata gambar ritual di India), atau orang Israel bermain bulu tangkis di Masjid Al-Aqsa (padahal itu gambar masjid di Turki), seolah-olah berbohong itu tidak apa-apa untuk jihad. Hal ini tentunya sangat efektif dalam membakar gelora amarah Muslim Indonesia, sampai-sampai Presiden terpilih Joko Widodo diminta untuk menyumbangkan sisa dana kampanyenya kepada Palestina, meskipun di Indonesia sendiri masih banyak sekali yang harus dibenahi. Terlepas dari perdebatan dikotomis yang terjadi (seperti pihak mana yang benar atau salah), yang patut disorot di sini adalah tanggapan Muslim Indonesia yang sangat berapi-api dan meledak-ledak, yang tidak hanya terjadi sekali saja. Saat kerusuhan antara orang Burma dan Rohingya di negara bagian Rakhine meletus, hal serupa juga terjadi. Demonstrasi pecah, pemuka agama menggelegar di masjid, dan media sosial dipenuhi gambar-gambar palsu untuk membangkitkan amarah. Akibatnya, Muslim Indonesia pun terprovokasi, sampai-sampai ada yang menyerang klenteng Buddha (yang merupakan kegoblokan absolut karena sama sekali tidak ada hubungannya) dan berdemonstrasi dengan spanduk “WE WANT TO KILL MYANMAR’S BUDDHIS”. Muslim Indonesia yang terlibat dalam pergerakan semacam ini biasanya mengklaim bahwa mereka melakukannya demi kemanusiaan dan hak asasi warga Palestina atau Rohingya atau siapapun yang mereka bela. Tentu membela hak asasi manusia adalah suatu hal yang sangat penting demi kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Namun, mengapa hal serupa tidak pernah disuarakan saat Omar Al-Bashir dengan janjaweednya membantai warga di Darfur, atau saat suku Kurdi ditindas dan berusaha dimusnahkan dengan senjata kimia oleh Saddam Hussein? Tidak perlu jauh-jauh, di Indonesia sendiri, telah terjadi pelanggaran HAM berat yang serupa dengan yang dialami oleh orang Rohingya, yaitu pengusiran Syiah di Sampang. Sama seperti kaum Rohingya yang terusir akibat kerusuhan dan terpaksa hidup di kemah pengungsi, begitu pula Syiah Sampang yang sampai hari ini masih belum dibolehkan pulang. Malahan darah mereka dianggap halal untuk ditumpahkan, seperti yang diserukan oleh pendiri arrahmah.com Abu Jibril. Bila mereka memang sungguh peduli pada kemanusiaan dan hak asasi semua manusia, mengapa mereka gagal menyerukan gerakan seperti yang mereka lakukan untuk Palestina dan Rohingya? [caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="Kekejaman di rumah sendiri gagal dikecam"][/caption] Selain itu, tindak tanduk Muslim Indonesia yang mengecam kejadian-kejadian tersebut tampak sekali sangat terprovokasi oleh dakwah di masjid atau seruan-seruan di media massa dan sosial, sehingga seringkali mereka melakukan tindakan tanpa memahami seluruh pokok permasalahannya terlebih dahulu. Contohnya adalah kaum tak berotak yang menyerang klenteng di Indonesia untuk membela kaum Rohingya. Selain kaum Buddha di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan konflik di Myanmar, mereka memandang masalah Rohingya secara dikotomis: Buddha lawan Islam. Padahal masalahnya jauh lebih kompleks dari itu. Salah satu penyebab Rohingya masih terlunta-lunta adalah pemerintah Bangladesh menolak menerima pengungsi Rohingya. Mereka bahkan mengeluarkan hukum yang secara spesifik melarang orang Rohingya menikah di Bangladesh, agar mereka tidak dapat menggunakannya untuk memperoleh kewarganegaraan. Myanmar sendiri juga tidak hanya mendiskriminasi kaum Rohingya, tapi juga etnis Karen, Kachin, dan Shan. Konflik internal sudah berkecamuk dari 1948 hingga sekarang. Orang-orang Karen, Kachin, dan Shan telah berusaha memperjuangkan hak dan kemerdekaannya selama puluhan tahun, dan akibatnya nyawa melayang dan ratusan ribu warga terusir dari rumahnya. Tentara Myanmar sendiri didapati menarget penduduk sipil Kachin. Maka jelas akar permasalahannya adalah pada pemerintah Myanmar yang masih tidak akomodatif terhadap minoritas. Namun, tampak jelas Muslim Indonesia tidak (atau gagal) memahami seluruh permasalahannya, dan hanya melihatnya sebagai Islam lawan Buddha, yang jelas ngawur karena banyak orang Karen, Kachin, dan Shan yang juga beragama Buddha. Hal ketiga yang perlu disorot adalah ke mana kecaman itu dialamatkan. Muslim Indonesia selalu siap mengecam tragedi yang menimpa umat Muslim lain, dari pembantaian Muslim Bosnia oleh ultranasionalis Serbia di Srebrenica hingga rumor pelarangan puasa di Xinjiang. Namun, seperti yang kita telah lihat, mereka gagal memberikan kecaman serupa pada insiden yang menimpa Kachin, Karen, Shan, Darfur, dan Syiah Sampang. Dari sini, tampak jelas bahwa “kepedulian terhadap kemanusiaan” yang mereka gembor-gemborkan tidak lebih adalah kepedulian sektarian belaka, alias hanya peduli terhadap orang yang segolongan dengan mereka saja (yaitu Muslim Sunni). Sebagai contoh, di Ukraina timur, sejauh ini (4 Agustus 2014) lebih dari 1500 orang telah tewas, dan 800 di antaranya adalah warga sipil. Sementara di Gaza, jumlah korban sejauh ini menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa tercatat sebesar 1717 jiwa, dengan 1176 di antaranya merupakan warga sipil. Sekarang mari kita bandingkan secara proporsional berdasarkan perhitungan kasar yang bersifat indikatif. Kepadatan penduduk Gaza 5046 jiwa/km2, sementara kota Donetsk 2700 jiwa/km2 & Luhansk 1802 jiwa/km2 (kalau jumlah penduduk dan luas kedua kota digabung kasarnya menjadi 2300 jiwa/km2). Itu artinya rasio kematian terhadap kepadatan penduduk pada konflik di Gaza itu 34%, sementara di Donetsk dan Luhansk 65,5%. Perbedaan yang sangat signifikan. Dari sini kita dapat melihat bahwa konflik di Ukraina timur lebih mematikan daripada konflik di Gaza. Selain itu, dari perbandingan matematis ini, tentara Israel tampak mampu menahan diri untuk meminimalisasi korban jiwa, meskipun kepadatan penduduk di Gaza amat tinggi. Namun, sekali lagi, kita dapat melihat bahwa di Indonesia tidak ada kecaman sama sekali terhadap konflik di Ukraina. Meskipun begitu, bayangkan kalau pemberontak pro-Rusia di Ukraina itu Muslim, dan Ukraina itu Yahudi. Berdasarkan reaksi Muslim Indonesia terhadap insiden yang menimpa Muslim lainnya, dapat dipastikan bahwa bundaran Hotel Indonesia akan dipenuhi oleh demonstran-demonstran yang menyerukan jihad melawan Ukraina. Di sisi lain, bayangkan bila Israel menyembah dewa Quetzalcoatl, dan Palestina adalah penganut animisme. Melihat kegagalan sebagian besar Muslim Indonesia dalam mengutuk konflik yang menimpa kelompok dari agama atau kepercayaan lain, tampaknya kecaman hanya akan disuarakan oleh mereka yang sungguh peduli pada kemanusiaan. Berdasarkan tiga observasi di atas, maka tampak jelas bahwa klaim “kepedulian terhadap kemanusiaan” yang disuarakan oleh Muslim Indonesia tidak lebih dari sekadar bias yang bersifat sektarian, yang merupakan hasil provokasi ideologis di tempat ibadah dan media massa dan sosial. Hal ini terlihat secara gamblang dari (1) tindak tanduk yang tampak sangat terprovokasi sehingga tidak memahami duduk permasalahan yang sebenarnya, (2) kegagalan dalam mengutuk insiden yang menimpa umat lain dengan skala dan intensitas yang sama, dan (3) kepedulian yang cenderung hanya memihak kelompok yang sama. Jika mereka memang sungguh peduli terhadap kemanusiaan, maka mereka akan menyuarakan hal yang sama untuk semua perang dan insiden yang mengancam kelompok tertentu, seperti yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia internasional. Namun, karena banyak sekali yang hanya sekadar terprovokasi, maka mata mereka tertutup akan insiden lain dan dukungan yang membabibuta pun bergaung kencang terhadap korban yang seiman meskipun di rumah sendiri ada kaum dari kepercayaan lain yang juga mengalami penindasan. Maka dari itu, sudah sepatutnya Muslim Indonesia melepaskan diri dari belenggu-belenggu ideologis dan provokatif. Mereka sudah seharusnya mengemban kembali semangat untuk berpikir kritis terhadap segala informasi yang didapat, dan selalu melakukan pemeriksaan dan penyelidikan lebih lanjut terhadap apa yang mereka lihat dan baca, agar mereka tak mudah dibohongi oleh rumor-rumor yang tidak jelas. Selain itu, sudah saatnya Muslim Indonesia bergerak maju, dari bias kemanusiaan yang bersifat sektarian menjadi kepedulian terhadap kemanusiaan yang sesungguhnya, yang meliputi penghormatan terhadap kemartabatan manusia-manusia lain, apapun agama, suku, ras, dan orientasi seksualnya. Hanya dengan inilah, Muslim Indonesia dapat maju melewati tantangan globalisasi. Bila tidak, maka selamanya bangsa kita hanya akan menjadi bangsa yang mudah terprovokasi, bebal, dan tidak memiliki wawasan terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Komik yang mengilustrasikan tindak tanduk Muslim Indonesia"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline