Bali - Kekerasan seksual di Indonesia, terutama di lingkungan perguruan tinggi, merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 289.111 kasus kekerasan seksual di Indonesia, dengan sebagian besar korban adalah perempuan. Angka ini mencerminkan kegagalan besar dalam sistem perlindungan perempuan, termasuk dalam dunia pendidikan. Perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat yang aman dan bebas dari kekerasan, namun kenyataannya justru banyak mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual di kampus. Berdasarkan laporan dari berbagai lembaga, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ditemukan adanya puluhan kasus kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswi di beberapa universitas besar di Indonesia sepanjang tahun 2023. Kasus-kasus ini menggambarkan betapa rentannya lingkungan kampus terhadap tindakan kekerasan seksual, yang sebagian besar melibatkan korban perempuan. Fakta ini menunjukkan adanya celah serius dalam perlindungan mahasiswa, khususnya perempuan, di dalam kampus, yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung perkembangan akademis serta pribadi mereka. Banyak dari kasus ini melibatkan pelaku yang berstatus sebagai tenaga pengajar atau sesama mahasiswa, dan sebagian besar korban adalah mahasiswi.
Sebagai respons terhadap masalah ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, yang bertujuan untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi. Permendikbud ini memberikan pedoman tentang pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Dalam regulasi ini, kampus diwajibkan menyediakan saluran pelaporan yang aman bagi korban, memberikan perlindungan terhadap korban, serta mendidik seluruh civitas akademika tentang pentingnya pencegahan kekerasan seksual. Namun, meskipun kebijakan ini sudah diatur dengan jelas, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan yang perlu diperhatikan dan diatasi.
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan kebijakan ini adalah kurangnya sosialisasi yang efektif terkait peraturan ini. Meskipun kebijakan tersebut telah diterbitkan, masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui adanya peraturan tersebut dan hak-hak yang dilindungi di dalamnya. Berdasarkan berbagai survei dan penelitian, ditemukan bahwa lebih dari setengah mahasiswa di berbagai perguruan tinggi belum memahami atau bahkan tidak mengetahui mekanisme pelaporan dan perlindungan yang tersedia untuk mereka jika menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi sudah ada, penyebarluasan informasi mengenai kebijakan tersebut masih sangat terbatas. Sosialisasi yang kurang ini menghambat mahasiswa, khususnya mahasiswi, untuk mengetahui hak-hak mereka sebagai korban dan langkah-langkah yang dapat mereka ambil dalam melaporkan tindak kekerasan seksual. Bahkan di beberapa institusi, meski kebijakan sudah diterapkan, sistem yang ada belum cukup memadai untuk memberikan informasi yang jelas dan mudah diakses tentang cara melapor atau mendapatkan perlindungan. Padahal, tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang pencegahan kekerasan seksual di kalangan mahasiswa dan menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan.
Selain itu, budaya kampus yang masih dipengaruhi oleh norma patriarki juga menjadi faktor penghambat. Budaya ini menciptakan stigma terhadap korban kekerasan seksual, yang sering kali disertai dengan rasa malu atau ketakutan untuk melapor. Banyak korban yang merasa takut akan mendapat sanksi sosial atau bahkan diskriminasi jika melaporkan kejadian kekerasan yang mereka alami. Stigma ini mengakar dalam masyarakat dan semakin diperburuk oleh norma-norma yang berkembang di lingkungan kampus, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi mahasiswa untuk berkembang. Hal ini menciptakan situasi di mana korban lebih memilih untuk diam atau bahkan menyalahkan diri sendiri daripada melapor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa banyak perempuan yang enggan melapor karena khawatir bahwa laporan mereka akan merusak reputasi mereka, baik secara sosial maupun akademik. Budaya patriarki ini harus segera diubah agar lingkungan kampus benar-benar menjadi ruang yang aman bagi semua mahasiswa, tanpa ada ketakutan akan stigma atau pembalasan.
Selain masalah budaya dan sosialisasi, tantangan lain dalam implementasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah minimnya infrastruktur dan sistem pelaporan yang memadai. Beberapa kampus, terutama di daerah-daerah tertentu, tidak memiliki fasilitas yang cukup untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan baik. Kurangnya ruang aman, layanan konseling, dan tenaga ahli yang terlatih untuk memberikan pendampingan psikologis maupun hukum bagi korban merupakan hambatan besar. Bahkan, di beberapa kampus, mekanisme pelaporan yang ada tidak dirancang untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi korban. Sebagai contoh, beberapa korban merasa bahwa proses pelaporan yang ada terlalu panjang dan rumit, sehingga mereka lebih memilih untuk tidak melaporkan kejadian yang mereka alami. Hal ini tentu saja membuat kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menjadi tidak efektif, karena korban merasa tidak ada tempat yang aman untuk mengungkapkan kasus yang mereka hadapi. Oleh karena itu, kampus harus menyediakan layanan yang lebih mudah diakses, lebih sensitif terhadap korban, dan benar-benar mampu memberikan perlindungan yang maksimal.
Satu lagi tantangan besar dalam mengatasi masalah ini adalah penegakan hukum yang lemah di kampus. Meskipun Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 mengatur sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual, kenyataannya banyak kampus yang ragu untuk mengambil tindakan tegas. Sering kali, pelaku kekerasan seksual adalah individu yang memiliki posisi penting di kampus, seperti dosen atau pejabat, yang menyebabkan adanya rasa takut dari pihak korban untuk melaporkan kejadian tersebut. Di beberapa kasus, korban malah merasa bahwa mereka yang akan mendapat sanksi atau dipersalahkan, bukan pelaku. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada dan membuat korban merasa tidak ada keadilan yang bisa mereka dapatkan dari kampus. Penegakan hukum yang lemah ini harus segera diperbaiki dengan meningkatkan transparansi dan keberpihakan kepada korban, bukan kepada pelaku yang memiliki kekuasaan atau posisi strategis di kampus.
Agar kebijakan ini dapat diterapkan dengan lebih efektif, beberapa langkah penting perlu diambil oleh pemerintah, kampus, dan masyarakat. Pertama, sosialisasi dan edukasi mengenai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 harus diperkuat. Kampus harus lebih aktif dalam mengedukasi seluruh civitas akademika, baik mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik lainnya mengenai hak-hak mereka terkait kekerasan seksual dan mekanisme pelaporan yang ada. Ini bisa dilakukan melalui seminar, pelatihan, media sosial kampus, dan materi edukasi yang mudah diakses oleh semua pihak. Kedua, kampus perlu memperkuat infrastruktur yang ada untuk mendukung penanganan kasus kekerasan seksual. Kampus harus memiliki pusat layanan yang siap memberikan bantuan kepada korban, seperti ruang aman, layanan konseling, serta tenaga pendamping yang terlatih untuk memberikan bantuan psikologis dan hukum. Sistem pelaporan juga harus diperbaiki agar mudah diakses, aman, dan memberikan rasa perlindungan bagi korban. Ketiga, penegakan hukum harus dilakukan dengan lebih tegas. Kampus harus menunjukkan komitmennya dalam menindak tegas pelaku kekerasan seksual tanpa memandang jabatan atau posisi mereka di kampus. Keberanian untuk bertindak tegas akan memberikan rasa keadilan bagi korban dan menunjukkan bahwa kampus tidak melindungi pelaku.
Dengan langkah-langkah yang tepat, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Namun, untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan kerjasama yang solid antara pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat dalam menghadapi masalah besar ini. Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal sosialisasi, penegakan hukum, dan fasilitas pendukung, maka kebijakan ini hanya akan menjadi dokumen yang tidak memiliki dampak nyata terhadap kehidupan kampus. Akhirnya, kita semua harus bekerja keras untuk memastikan bahwa kampus-kampus di Indonesia menjadi tempat yang benar-benar aman bagi mahasiswa, khususnya perempuan, untuk belajar dan berkembang tanpa ancaman kekerasan seksual.
Masyarakat dan perguruan tinggi harus berkolaborasi dalam menciptakan budaya kampus yang lebih peduli dan responsif terhadap isu kekerasan seksual. Tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan pemerintah atau peraturan yang ada, tetapi perlu adanya komitmen dari setiap pihak untuk mendukung perubahan ini. Kampus, sebagai lembaga pendidikan, memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan pola pikir generasi muda. Oleh karena itu, upaya pencegahan kekerasan seksual harus dimulai dari dalam kampus itu sendiri melalui edukasi yang menyeluruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H