Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Badut

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13852856061084240581

Badut. Satu sosok yang begitu menyita perhatian. Begitu lekat dengan dunia anak – anak. Sebagian menangis karena takut akan badut. Sebagian tertawa karena menyukai badut. Waktuku kecil, rasa senang hinggap dalam sanubari setiap kali aku melihat badut. Pernah suatu ketika, entah di saat usia yang keberapa, salah seorang temanku berulang tahun. Badut diundang untuk memeriahkan acara. Badut muncul dengan penampilannya yang khas. Wig berwarna merah, wajah yang dihias dengan make-up hingga serupa dengan sosok bertopeng, baju motif polkadot yang kelonggaran dengan perut yang buncit, dan sepasang sepatu yang juga terlihat kebesaran. Badut membawa begitu banyak benda dalam sebuah kantong besar, mirip seperti milik Sinterklas yang suka membagi -  bagikan hadiah di hari Natal untuk anak – anak yang manis dan tidak nakal. Badut menghibur aku dan anak – anak lainnya lewat tingkahnya yang jenaka.Gerakan pantomim yang merupakan sebuah cerita tersirat kuperhatikan dengan seksama. Tak kubiarkan mataku berkedip barang sekejap saja. Badut mengajak beberapa anak untuk maju ke depan, aku salah satunya. Badut memberikan sebuah permainan kecil yang membutuhkan konsentrasi. Satu demi satu peserta gugur hingga aku menjadi satu – satunya yang bertahan. Badut mengambil sesuatu dari kantong tasnya yang besar. Badut mengulurkan tangannya. Kami bersalaman. Dan badut mengucapkan, “Selamat pemenang cilik.” Lalu badut memberiku hadiah. Sebuah tempat pensil lucu. Aku tersenyum. Gembira. Beranjak remaja, badut masih saja terekam dalam benak. Namun, kali ini berbeda. Seringkali ku bertanya – tanya, “Badut jenaka, apa pekerjaanmu hanya untuk membuat orang lain tertawa?” “Badut lucu, apa kau harus selalu menghibur hati mereka yang dilanda duka lara?” “Badut baik, pernahkah kau rasakan letih, hendak menderukan jerit dan isak tangis?" “Badut malang, lantas siapa yang memberimu penghiburan di kala sesak merajam dan hatimu nelangsa?” Namun tak ada yang menjawab. Tak pernah ada jawaban. Rasa sesal sudah seperti penyakit yang menjangkiti aku. Sebab tanda tanya datang terlambat. Sebab aku tiada lagi pernah bertemu badut. Beranjak dewasa, badut mulai sedikit terlupa olehku. Hidup kian pelik. Beban kian sukar. Semangat kian redup. Tangis kian menjadi. Sayang, aku tak mampu mengiaskannya dengan kata, bahkan raut wajah pun tidak. Sedapat mungkin kuhiasi paras dengan mimik lucu, ku gurat rupa dengan senyum lebar. Sering pula kumainkan tingkah - tingkah jenaka, mengundang gelak tawa bagi mereka yang memandang.

Terkadang, aku berganti peran mengindahkan mereka yang berlaku konyol. Terpingkal - pingkal aku dibuatnya, bahkan terkadang meski sesungguhnya tak ada yang lucu, tetap saja riak tawa tak bisa kuhentikan. Aku terbahak sejadi - jadinya. Betul - betul lega mengingat aku masih bisa lepaskan tawa di kala hampa dan sepi menjejali hati yang hampir koyak. Pun aku beroleh rasa bahagia setiap kali para khalayak berceloteh, "Kami tertawa bukan karena ada tidaknya hal yang lucu. Tapi gelak tawamu yang membuat kami ikut tertawa. Apa sih yang kau tertawakan? Beritahu kami cepat! Ha...Ha...Ha..." Untukku melihat orang lain bahagia karena diriku itu sudahlah cukup melepaskan bebanku sejenak. Rasanya sungguh menyenangkan. Kemenangan seperti tengah kugenggam dalam kepalan tangan yang tanpa mereka tahu sering kugunakan tuk mencatuk kepalaku saat kesal melanda, tak tahu harus berlari kemana. Sekaligus tuk mengusap air mata yang jatuh hingga meretas pejam setiap malam. Serasa hanya bertengger musim hujan dalam mata dan hatiku. Mengecap pedih dan sembilu hingga luluh - lantak mencari cara tuk berdiri.

Panjatan doa selalu kuucap lewat bibir yang selalu kukunci rapat, tak mau orang lain tahu akan derita dan muram durja. Kurasakan kedamaian setiap kusebut nama-Nya. Lega hati kudapat waktu ku bersimpuh memohon belas kasih-Nya, bertekuk lutut meminta uluran tangan-Nya, menengadah menghendaki diri-Nya tuk menopangku yang lemah dan payah. Peluk hangat dari-Nya pun bagai menghantar aku menuju ketenteraman hingga ku dapat tertidur lelap. Titik air mata mengalir melalui pelupuk mata, membasahi wajahku perlahan. Aku mencoba kembali berdiri tegak, dan lalu berjalan ke arah cermin yang terpampang dalam dinding kamarku. Kuperhatikan sosok dalam cermin. Terpantul seraut wajah menyayat hati. Sedetik kemudian sosok itu berubah serupa badut. Membuatku terbawa dalam kenangan masa lalu. Mereka-reka ulang segala tentang badut.Badut yang jenaka. Badut yang tertawa. Badut yang pulang ke rumah terlampau letih. Badut yang menangis... Badut yang kesesakan... Badut yang kesepian... Badut...... Aku......... Badut...... Aku.......... Badut..... Aku...... Berulang kali pantulan dalam kaca berubah - ubah layaknya mengejek aku. Aku tersadar. Kuingat - ingat pertanyaanku tentang badut. Ya.... Badut memang selalu ada untuk mereka yang penuh duka dan lara, tanpa pernah mau membiarkan mereka merasakan sedu sedan seperti dirinya. Badut memang selalu ingin membuat orang lain tertawa, tanpa pernah mau membiarkan mereka menangis seperti dirinya. Bahkan tanpa ada satu orang pun yang tahu, badut selalu ingin berteriak sekencang - kencangnya guna melepas sayu dan pilu. Namun, ada satu yang badut cintai. Tuhan. Sebab Tuhan adalah satu - satunya sumber penghiburan yang paling berharga baginya. Sebab Tuhan adalah penyangga hidupnya. Dan ia percayakan seluruh hidupnya pada Sang Pencipta. Tuhan memberinya kekuatan dan keistimewaan. Sebuah ketegaran. Aku tahu sekarang jawabannya. Sebab aku telah.....MENJADI BADUT!

Perlahan kuseka air mataku. Aku tersenyum kecil sambil merapal dalam hati, "Tuhan, aku serahkan segala yang ada pada diriku ke dalam tangan-Mu. Kutahu semua akan indah pada waktunya. Meski aku sering kesulitan bernafas karena sesak, namun ku tahu Engkau akan memberikan kelegaan. Meski aku sering merasa kesepian, namun ku tahu Engkau takkan pernah meninggalkan aku."

Kemudian aku rebahkan tubuhku serta mulai memejam. Siap menghadapi hari esok dan kembali........ MENJADI BADUT!

P.s: Siapapun yang membenci badut, belajarlah untuk menyukainya. Ia mengesampingkan luka dan pilu hatinya demi menghibur orang lain. Siapapun yang menyukai badut, teruslah kagumi sosoknya. Tanpa riasan badut, ia tetap manusia seperti kita yang sesungguhnya lebih membutuhkan sandaran untuk melepas lelah.__________________________________________________________________"There are two types people in this world. People who hate clown......and clown."-D.J. MacHale

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline