A. Pendahuluan
Kita banyak menemukan fenomena dimana perempuan selalu dinomorduakan setelah laki-laki di lingkungan masyarakat. Perempuan dianggap kurang capable dalam menjalani kehidupan luar selain pekerjaan domestik. Pandangan ini datang karena laki-laki dianggap lebih rasional daripada perempuan. Perempuan lebih dominan pada sikap afektif dan emosional dianggap sebagai kekurangan dalam melakukan pekerjaan publik karena akan kurang maksimal dan melibatkan perasaan daripada pemikirannya. Perbedaan gender dapat dilihat dari fenomena tersebut. Patriarki hingga saat ini masih eksis keberadaannya mengikuti pandangan jika laki-laki dianggap lebih kuat, lebih perkasa, lebih pantas mengerjakan hal-hal penting di luar sana, misalnya dalam hal pekerjaan yang bersifat pubik. Banyak pihak yang masih menganggap bahwa tugas dan kewajiban perempuan itu hanya dirumah, dapur, dan mengurus anak. Padahal, dibalik itu kodrat perempuan bukan hanya sekedar mengurus rumah, kodrat itu berbeda.
Kodrat adalah hal yang berhubungan dengan keadaan biologis atau jenis kelamin. Namun, masih banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa memasak, menyapu, mengepel itu tugas perempuan dan jika perempuan tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah tersebut akan disebut gagal menjadi seorang perempuan seutuhnya. Gender yang melekat pada diri manusia dapat direkonstruksi oleh lingkungan sosialnya, sifat yang ada pada diri perempuan dikena sebagai makhluk lemah lembut dan emosional dan laki-laki yang dianggap maskulin dan rasional merupakan hasil dari konstruksi sosial dan bukan kodrat (Susanto, 2015). Masih dapat kita temui laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut dan penyayang dan perempuan yang memiliki sifat kuat dan rasional, sifat manusia yang dasarnya dapat dikonstruksi oleh lingkungan sosialnya akan terbentuk secara natural sesuai dimana dia tumbuh dan melakukan kebiasaan bersama lingkungan sekitanya.
Pemahaman tentang kodrat dan gender sebagai hasil konstruksi sosial yang masih salah diartikan menyebabkan salahnya persepsi masyarakat terhadap kedua hal itu. Ketidaksetaraan gender masih menjadi suatu case yang perlu diperbaiki agar dapat mewujudkan suatu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Masih banyak perempuan yang dianggap cukup berada di rumah dan harus bisa memasak agar dianggap menjadi perempuan idaman, dan laki-laki dituntut untuk selalu maskulin dan berpenampilan kekar agar dianggap sebagai laki-laki sempurna yang harus diluruskan bahwa hal ini bukan menjadi suatu kodrat yang hanya dimiliki oleh salah satu pihak saja (laki-laki atau perempuan) karena yang dinamakan kodrat adalah jika perempuan dapat mengalami haid, melahirkan, dan menyusui serta laki-laki memiliki kodrat misalnya mengalami pubertas dan jakun.
Di Indonesia sendiri sering terjadi stigmatisasi terhadap perempuan bahkan sejak zaman dahulu kala. Pada zaman dahulu banyak perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan oleh orang tuanya karena dianggap sebagai pekerjaan yang sia-sia. Menurut orang zaman dahulu perempuan hanya akan menjadi seorang ibu dan seorang istri sehingga tidak perlu mendapatkan pendidikan ataupun sekolah tinggi. Hingga munculnya tokoh Kartini sebagai seseorang yang mewakili seluruh perempuan di Indonesia atas ketidaksetaraan gender yang terjadi pada saat ini.
Walaupun emansipasi wanita sudah terjadi, saat ini masih banyak masyarakat yang memandang bahwa perempuan itu tetap berbeda dengan laki-laki. Nampaknya masih ada beberapa oknum yang menganggap perempuan itu lemah, penuh dengan perasaan, hanya bisa mengerjakan sesuatu yang ringan, dan tidak cocok untuk menjadi seorang ketua atau pemimpin. Di Indonesia sangat jarang ditemui seorang perempuan memiliki kedudukan penting dalam suatu masyarakat terlebih lagi dalam bidang politik dan pemerintahan. Biasanya seorang wanita hanya menduduki jabatan staf, sekretaris, atau bendahara. Jarang ditemui seorang perempuan menjabat sebagai kepala atau ketua umum. Dalam masyarakat juga masih tertanam anggapan bahwa seorang pemimpin harus laki-laki karena dianggap lebih memiliki image berwibawa, dan bijaksana,
Untuk sebuah gender antara satu sama lain masih bisa saling bertukar dan melengkapi tergantung dimana individu itu melakukan interaksi di masyarakat sekitar sehingga akan terbentuk suatu sifat yang melekat pada lingkungannya. Sehingga masyarakat saat ini diharapkan dapat lebih memahami antara kodrat dan konsep gender di masyarakat agar perempuan tidak selalu dipojokkan dengan kata-kata tidak bisa memasak bukanlah seorang perempuan sejati, agar perempuan tidak diremehkan dalam pekerjaan publik karena dianggap lebih cocok bekerja di sektor domestik.
B. Pembahasan
- Perempuan, Ibu, dan Rumah Tangga
Peran perempuan seringkali hanya dikaitkan dengan rumah. Sisi lain dalam dirinya juga jarang diakui. Masih banyak stereotipe masyarakat tentang perempuan "Tidak usah sekolah tinggi-tinggi, toh nanti juga cuma ngurus rumah". Padahal, sejatinya menjadi ibu tidak semudah yang dikatakan oleh para patriarkis dan orang-orang di luar sana. Menjadi seorang ibu membutuhkan persiapan mental yang serta fisik yang sehat. Sampai sekarang, masih seperti menjadi tradisi bahwa seperti hanya ibu lah yang memiliki tugas dan kewajiban dalam mebgurus anak dan rumah. Masih banyak yang berpikir bahwa ibu seharusnya full bekerja di rumah dan mengurus anak. Perempuan sudah seharusnya memiliki kebebasan untuk menuntut pendidikan setinggi-tingginya karena jika perempuan sudah menjadi ibu, perempuan lah yang akan menjadi "sekolah" pertama anak-anaknya. Ibu yang memiliki wawasan luas tentu sangat dibutuhkan mengingat di zaman semakin maju maka kebutuhan anak pasti akan berbeda, dalam hal pengetahuan dan juga eksplor anak di dunia luar. Dari sisi patriarkis, mereka lebih mendahulukan laki-laki dalam hal pendidikan karena kelak dianggap sebagai kepala rumah tangga dan harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Padahal, perempuan juga seharusnya bisa melakukan pekerjaan publik jika mereka juga mendapatkan kesempatan dalam aspek pendidikan. Berkaitan perempuan sebagai ibu, yang mungkin banyak yang masih "meng-hanyakan" sebagai seorang ibu, mereka mungkin hanya berpikir bahwa ibu sebatas mengurus anak, mengurus rumah, mengurus suami. Namun, pada realitanya, menjadi seorang ibu juga butuh perjuangan dan pengorbanan dimana banyak para ibu mengalami sindrom baby blue setelah melahirkan. Mengurus rumah juga bukan hal yang mudah sebuah tanggung jawab besar menjadi ibu untuk perempuan dengan segala tuntutan rumah yang harus bisa dikerjakan.
Fenomena seperti ini aepertinya sudah muncul sejak masa orde baru dimana terdapat konsep Women in Development atau Perempuan dalam Pembangunan dimana didalamnya terdapat narasi-narasi tentang subordinasi perempuan seperti perempuan harus menjadi istri, perempuan menanggung kesejahteraan keluarga, perempuan menanggung kesehatan anak, selain itu perempuan wajib mendukung pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh suami dapat diistilahkan perempuan sebagai penanggung jawab utama dalam keluarga. Bahkan sampai sekarang perempuan dianggap sebagai second citizenship atau menjadi citizen kedua yang mana perempuan bisa memiliki kesempatan dalam pekerjaan publik (seperti ketua PKK) jika berdiri di belakang sosok suami yang memiliki pekerjaan yang linier atau memiliki jabatan. Perempuan mendapat "panggung" dalam menjalankan proses pembangunan bukan didasari dengan kemampuannya sendiri melainkan karena menjadi bagian dari laki-laki atau suaminya tersebut.
- Patriarki dan Kebudayaan
Patriarki adalah sistem dimana menempatkan laki-laki pada posisi terpenting dan istri serta anak diposisikan sesuai kepentingan (the patriarch) (Nurmila, 2015). Patriarki memiliki dua bentuk, yaitu patriarki domestik dan patriarki publik. Dimana patriari domestik mengutamakan pekerjaan di rumah tangga yang sudah menjadi narasi perempuan, dimana pekerjaan rumah tangga menjadi kodrat yang dikerjakan oleh kaum perempuan, hal ini dapat menjadi salah satu bentuk ketidaksetaraan pada perempuan. Lalu patriarki publik yang dikaitkan dengan struktur masyarakat, yaitu relasi patriarki rumah tangga, pekerjaab, kehidupan berbangsa dan bernegara, kekerasan oleh laki-laki, relasi seksualitas, dan patriarki dalam lembaga budaya (Walby dalam Omara, 2004). Budaya patriarki membuat peredaan dalam perilaku, status, dan kekuasaan pada laki-laki di masyarakat sehingga menjadi hierarki gender. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal mula perbedaan gender. Perbedaann biologis yang ada pada keduanya dianggap oleh masyarakat sebagai bagian yang tidak setara, contohnya perempuan tidak mempunyai otot dianggap lemah dan diletakkan di posisi kedua dibanding laki-laki yang memiliki fisik kuat (Rokhimah, 2014).