Ketika denyut nadi oligarki mulai berdetak kembali di situlah tumbuh bibit-bibit korupsi. Korupsi memiliki keterkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia karena dampak dari tindak pidana korupsi menyebabkan hilangnya harkat dan martabat manusia, selain itu korupsi juga dapat menjadi parasit dalam perekonomian dan pembangunan negara bahkan dunia.
Berbicara soal menjelang pemilu 2024 belakangan ini banyak sekali problematika yang muncul mulai dari politik, hak menyuarakan pikiran, bahkan tindak pidana korupsi yang semakin ironis.
Baru-baru ini pers tanah air kembali di guncang dengan perbincangan kasus Direktur Lokotaru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti atas kasus pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Kasus yang bermula pada Agustus 2021, dari konten kanal YouTube Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mengkritik bahwa Luhut terlibat dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua.
Namun yang terjadi Luhut tak terima dan menuntut permintaan maaf dari Haris dan Fatia serta mengancam akan dipidana dan diperdatakan. Alhasil pengadilan menetapkan bahwa Haris Azhar melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dengan pidana penjara selama 4 tahun serta denda sebesar Rp. 1 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara untuk Fatia dinyatakan penjara 3,5 tahun serta denda Rp. 500 ribu subsider 3 bulan kurungan.
Kalau dilihat sebenarnya Haris dan Fatia mengkritik kebijakan beliau bukan menghina personalnya. Padahal sejatinya sebagai publik figur Luhut Binsar Pandjaitan harus siap dengan yang namanya di kritisi bukan malah memperkarakan ke pengadilan. Hal ini menunjukkan penegakan HAM masih sangat buruk di Indonesia. Banyak aktivis yang berusaha menyuarakan hak-hak yang tertindas namun mirisnya negara sendiri lah yang memberantas HAM. Seolah membungkam pikiran warga negaranya untuk berekspresi dan mengkriminalisasikan apabila menentang kebijakan publik yang sebenarnya akal-akalan oknum nakal.
Di lain sisi Indonesia juga sedang di hadapkan dengan melemahnya undang-undang KPK dan menurunnya kinerja KPK yang membuat lunturnya kredibilitas dari masyarakat. Alasan mengapa KPK rusak ialah akibat di revisinya Undang-Undang KPK, dari yang semula UU. No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019 di mana sejumlah indikator dalam UU yang baru menghambat pemberantasan korupsi. Yang mana saat sebelum di revisi KPK adalah lembaga yang idependen namun setelah di revisi malah menjadi di rangkul pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa negara membuat alat tetapi takut dengan alatnya sendiri (ingin melemahkan/tidak konsisten).
Salah satu yang saat ini menjadi polemik adalah dugaan kasus pelanggaran kode etik dan tindak pidana korupsi oleh ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri. Dan kabarnya saat ini Firli masih aktif mengikuti rapat dan bekerja layaknya pimpinan KPK. Sungguh ironis lembaga yang seharusnya menegakkan keadilan malah menjadi sebaliknya ulah oknum yang tidak bertanggungjawab.
Ditambah sejak di sahkanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penetapan usia capres dan cawapres serta terpilihnya Gibran Rakabuming Raka (putra Jokowi) sebagai cawapres pemilu 2024. Hal ini berhasil menarik perhatian para politikus bahwasanya tindakan MK ini sudah merujuk pada praktik dinasti politik sebab ketua MK yang memberikan putusan adalah pamannya sendiri, yakni Anwar Usman. Putusan ini adalah salah satu cacat etika dalam perpolitikan.
Meski demikian tak di pungkiri dinasti politik atau oligarki adalah tantangan yang selalu ada ketika akan melaksanakan pesta demokrasi. Yang mana pemerintahan ini dijalankan oleh orang masih satu keluarga. Konsep ini sebenarnya sah-sah saja karena setiap orang berhak mencalonkan dirinya, namun yang menjadi masalah yaitu membuat kepesimisan anak-anak bangsa yang memiliki potensi karena orang yang berprivillege.