Lihat ke Halaman Asli

Hukum (Sambal) di Indonesia? Sedih Kalo Diceritain Mah

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia sangatlah menarik perhatian dan keprihatinan. Pasalnya, masih saja terjadi gab, masalah, atau kesenjangan antara das sollen dengan das sein-nya. Saya masih ingat betul ketika saya mendapatkan pelajaran PKn sejak di SD, banyak sekali pengertian atau gambaran hukum tentang Indonesia. Seperti Indonesia adalah negara demokrasi. Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Dan yang lebih cantik lagi tentang negara Indonesia terdapat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) sesudah amandemen, yang isinya “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Ya memang Indonesia memiliki banyak sekali peraturan hukum baik peraturan payung dan peraturan organiknya. Peraturan yang disusun sangat indah dan terkesan adil tapi dalam praktiknya nol. Menurut saya, penegakan hukum di Indonesia sesuai dengan yang diatur dalam konstitusi ibarat manusia yang ingin sekali menjadi manusia seutuhnya, manusia yang tidak memiliki cela dan khilaf sedikitpun, dan manusia yang selalu menjunjung tinggi nilai kebenaran. Susah sekali untuk mewujudkannya. Sekalinya ada niatan untuk mewujudkan tetapi dipertengahan jalan banyak sekali hambatan atau godaannya.

Hukum Indonesia; Tumpul ke Atas, Runcing ke Bawah

Mencerminkan bahwa dalam praktiknya hukum di negara kita tercinta ini masih jauh dari yang namanya keadilan, sangat jauh, jauh sekali. Seperti kasus-kasus yang terjadi. Paling khas kasus yang masih betah dan belum diberantas habis walaupun sudah ada upaya ini-itu, ialah kasus Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Parahnya, kasus KKN ini terjadi di kalangan pejabat dan para wakil rakyat. Padahal, sebelum menjadi wakil rakyat tentulah orang-orang itu sudah memenuhi standar kualifikasi persyaratan sehingga mereka layak untuk menjadi wakil rakyat dan sudah melakukan sumpah jabatannya. Tetapi, setelah mereka menikmati betapa empuknya duduk di kursi (wakil) rakyat, mereka seolah-olah lupa akan janjinya yang manis itu. Mereka berupaya mengatasnamakan rakyat untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Untuk memperkaya dirinya sendiri. Dan untuk mensejahterakan dirinya dan orang-orang disekitarnya.

Masih ingatkah dengan kasus Artalyta Suryani (Ayin)? Seorang pengusaha sukses yang terseret kasus penyuapan jaksa. Kasus ini, tidak hanya membuat Ayin dipenjara, tapi juga menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara. Salah satunya adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan uang sebesar US$ 660.000. selama dalam penjara, hidup Ayin ternyata tidak jauh dari sebelumnya. Ruangan yang dihuninya di Rutan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, berbeda dengan tahanan yang lain. Fasilitasnya lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa, dapur mewah, lemari makanan, pendingin soft drink, dan TV plasma. Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya. Hal ini terungkap saat inpeksi mendadak Rutan Pondok Bambu pada awal Januari 2010 (sumber: m.merdeka.com). Serupa tapi tak sama, terjadi juga pada seorang Gayus Tambunan. Memang keadaan ruang penjaranya sih biasa, tapi dia bisa melenggang bebas keluar masuk penjara dan sempat melakukan plesiran ke sejumlah daerah, seperti Bali, Macau, dan Kuala Lumpur.

Selain itu, vonis terhadap Inspekur Jenderal Djoko Susilo kembali mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal itu mengingat terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri tersebut adalah penegak hukum dengan pangkat dan jabatan tinggi. Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 121 miliar dari proyek senilai Rp. 196.8 miliar. Hukuman 10 tahun penjara dinilai terlalu ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa selama 18 tahun penjara (sumber: m.merdeka.com).

Lain lagi halnya dengan kasus yang dialami oleh nenek Asyani, seorang nenek yang berusia 63 tahun ini dituduh mencuri tujuh batang kayu jati oleh pihak Perhutani. Perhutani memerkarakan nenek Asyani ke Pengadilan Negeri Situbondo menggunakan Pasal 12 butir d jo. Pasal 83 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan. Lalu nenek Asyani langsung ditahan dan diancam hukuman lima tahun penjara.

Dari kasus-kasus di atas itu hanya sebagian kecil yang terjadi dari banyak kasus yang kepastian hukumnya masih menjadi tanda tanya. Terlihat jelas adanya kesenjangan antara kasus pejabat dengan kasus orang biasa bahkan bisa dibilang nenek Asyani merupakan orang miskin yang buta hukum karena faktor usianya juga yang sudah lanjut. Walaupun dalam hukum semua orang dianggap tahu akan adanya hukum tetapi dalam praktiknya kan tidak seperti itu. Orang yang berpendidikan tinggi saja yang sudah tahu adanya hukum beserta sanksinya tetapi masih saja melakukan tindakan yang melawan hukum dan merugikan kepentingan orang banyak. Ibarat sambal, sudah tahu rasanya pedas tapi tetap saja dikonsumsi.

Menurut Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad, penegakan hukum terhadap orang lanjut usia juga harus mengacu pada UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia khususnya Pasal 5 dan Pasal 18 yang menjamin pelayanan khusus bagi lansia untuk layanan dan bantuan hukum. Termasuk pemberian kemudahan layanan dan bantuan hukum dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada lansia. Termasuk layanan hukum di luar dan di dalam Pengadilan.

Dimana Arti Keadilan Sesungguhnya?

Hukum di Indonesia tampaknya belum mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Bahkan, sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Fenomena hukum saat ini adalah orang miskin dengan mudah dijebloskan ke penjara, tetapi orang kaya dan berkuasa sulit untuk diusut. Pembelaan publik selalu memakai pendekatan keadilan substansial, bukan sekadar prosedural dan mengedepankan alasan-alasan sosiologis. Dalam kondisi tertentu, akhirnya muncul pendapat umum, bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik. Namun, hukum tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan. Tentu menjadi harapan masyarakat, pengadilan seharusnya tidak menjadi lembaga penghukum bagi si miskin, tetapi pengadilan harus bijaksana dalam mengambil keputusan. Keadilan bukanlah sekadar menghukum orang, melainkan juga memperbaiki perilaku (sumber: sp.beritasatu.com). Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28D, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline