Lihat ke Halaman Asli

jesisca amanda

jesiscaamandaf

Angkringan Kala Itu

Diperbarui: 11 Agustus 2021   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angkringan Kala Itu

Dibawah lentera jalanan yang bernuansa senja berbalut malam. Tegak sudah terpal kebahagian bersama papan panjang dengan empat kakinya. Terpal kebahagian penopang hidup bagi pemiliknya, terpal kebahagian bagi para penikmatnya. Terpapar sudah sajian sederhana diatas papan panjang  berkaki empat tadi. Ampas kedelai bumbu kecap, nasi bungkus lauk minimalis, gorengan hangat, usus dan hati yang tertusuk serta minuman yang dicintai hampir seluruh lapisan masyarakat, tersaji nikmat disana.

 Hitam pekat namun nikmat, minuman yang hanya dibandrol lima hingga tujuh ribu rupiah ini yang menambah nuansa hangat pada dinginnya angin malam, menemani penikmat sembari berbincang perihal zona nyaman. Di tempat sederhana ini, inginku berbagi kisah perkara bahagia. Menurut sudut pandangku bahagia itu sederhana layaknya khalyak manusia beranggapan tentangnya.

Bukan perihal tempat, namun perihal suasana. Bukan perihal pangkat, namun perihal merakyat. Karena tempat tak selalu menjanjikan obrolan hangat. Begitu pula pangkat yang hanya bersifat sesaat. Diatas tapang panjang ini aku berbincang dengan semua orang yang datang, walau hanya singgah dan melahap gorengan. Disini kami saling bertukar harsa, cerita, cita bahkan cinta.

Sepasang penjaja dengan semua hidangan tadi umurnya setara dengan daun kering yang gugur, yang semangat hidupnya melebihi orang yang belum berumur. Bagi kedua penjaja ini, kunjungan kami adalah tujuan tegaknya terpal kebahagian ini. Kurang dan bahkan habisnya sajian sederhana tadi adalah cita mereka. Dari sini aku paham, akibat bisikan  angin malam yang berhembus bersama kebahagiaan. Terlihat dari raut dan keriput sepasang penjaja yang paham bahwa kebutuhan adalah lebih dari keinginan. 

Keriput diwajahnya tanda senyuman pernah hadir disana. Warna putih dirambutnya tanda panjangnya perjuangan untuk mencapai kesejahteraan. Mereka adalah orang yang tidak pernah mengumpat takdir, juga mengumpat remang dalam nyala lilin. Disetiap kunjungan ku, kopi dan gorengan hangat yang beliau suguhkan padaku, serta nasi bungkus sambal teri istimewa rasa bahagia.

Berbagi bahagia tak perlu harta. Juga bahagia tak perlu banyak biaya. Dengan menghadirkan senyum dalam kedua paras penjaja renta, bagi mereka itu sudah lebih dari cukup. Karena mereka selalu berbagi bahagia lewat secangkir kopi, gorengan, juga nasi bungkus sambal teri. Serta ocehan ringan penghapus nyeri dihati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline