"Cinta, dorongan fitrah dan etos ibadah dapat disebut sebagai pondasi utama sebuah keluarga..."
Jika kita membayangkan sebuah bangunan, apa yang terlintas di pikiran kita? Ya. Sebuah bangunan dengan pondasi utama, pilar-pilar raksasa nan berdiri kokoh, atap yang terbuat dari baja ringan yang berfungsi sebagai protektor bagi penghuninya, serta aksesoris cantik yang menghiasi bangunan tersebut.
Keluarga bisa diibaratkan sebagai sebuah bangunan. Calon mempelai, suami istri, ayah ibu serta kakek nenek adalah pondasi utama dari sebuah keluarga. Dimana dari mereka lah akan hadir keturunan-keturunan hebat. Jelas pondasi ini haruslah kuat, bahkan sangat kuat, supaya keturunannya kelak akan menjadi keturunan yang membanggakan. Coba bayangkan, sebuah bangunan dengan pondasi yang tidak kuat (misalnya dari kardus), apa yang akan terjadi pada bangunan itu jika suatu saat terjadi hujan disertai angin kencang? Ya. Bangunan itu akan kehilangan keseimbangannya dan bahkan roboh. Silahkan bandingkan dengan bangunan yang pondasinya terbuat dari semen, batu, pasir, dan besi. Ketika hujan badai menerpa, bangunan ini akan tetap berdiri kokoh.
Meskipun tidak ada jaminan bahwa bangunan ini tidak akan roboh, tapi setidaknya mampu bertahan lebih lama dibandingkan dengan bangunan yang terbuat dari kardus. Analogi ini sangat pas untuk kehidupan keluarga. Ketahanan dan kekokohan sebuah keluarga tergantung kepada kalian para calon mempelai dan juga ayah ibu. Tak hanya kesiapan menikah, kematangan psikologis kalian justru lebih penting saat kalian memutuskan untuk menikah. Karena kesiapan secara fisik dan finansial bukan berarti menunjukkan kesiapan secara psikologis. Kehidupan berkeluarga sebenarnya jauh lebih kompleks dibandingkan dunia pendidikan atau pun dunia kerja.
Permasalahan yang mungkin dan hampir pasti terjadi dalam perkawinan dan rumah tangga kalian tidak akan mampu dihadapi jika pondasi dari dalam diri kalian lemah. Tidak akan ada keturunan yang hebat apalagi membanggakan yang hadir dari sebuah bangunan keluarga yang pondasinya lemah. Padahal, hampir semua orang menginginkan hidup berkeluarga dan berumah tangga sekali seumur hidup. Sudah siapkah aku?
Memang, cinta adalah bahan dasar pondasi bangunan keluarga. Terciptanya pernikahan merupakan awal penyatuan suci perasaan cinta calon suami kepada calon istri dan sebaliknya. Bahan dasar cinta ini akan membuat mereka bisa menikmati kesulitan, karena kesulitan yang ditempuh oleh dua orang yang saling mencinta justru memperteguh jalinan cinta. Mereka menikmati keberduaan dan hangat dalam pembicaraan.
Selain cinta, adakah yang mampu mendorong seseorang untuk menikah membangun sebuah keluarga? Ada, yang oleh banyak ahli disebut "Dorongan Fitrah." Ketertarikan yang berujung rasa suka dan cinta kepada lawan jenis adalah fitrah Tuhan yang dibawa sejak kita dilahirkan. Tak jarang anak perempuan jatuh cinta kepada ayahnya dan mengidamkan lelaki seperti ayahnya. Atau anak lelaki yang berkata "Aku sungguh mencintai wanita itu dan menghormatinya seperti aku menghormati ibuku." Fitrah inilah yang mendorong seseorang untuk mencari jodoh dan kemudian hidup berumah tangga.
Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, MA., seorang konselor keluarga berkata bahwa hidup dalam kesendirian adalah berlawanan dengan fitrah hidup manusia. Oleh karena itu, diakui atau tidak, sesungguhnya hidup melajang itu terasa gersang. Banyak wanita dan pria yang mapan secara finansial namun merasakan kehampaan.
Pondasi bangunan keluarga yang tak kalah penting adalah etos ibadah. Pernikahan adalah sebuah ibadah. Dimana segala sesuatu yang kita lakukan dalam sebuah kelurga pun dinilai sebagai ibadah.
Orang yang patuh kepada agama akan menyadari bahwa semua aktfitas dalam kehidupan berkeluarga, mulai dari istri yang menyiapkan pakaian suaminya, suami yang menelepon istrinya di sela-sela kesibukan kerja, bahkan sampai kegiatan persetubuhan antara suami-istri adalah bernilai ibadah. Selain itu, menurut ajaran Islam, nilai-nilai beragama separohnya ada di dalam rumah tangga, separoh selebihnya tersebar pada berbagai aspek kehidupan.
Suami-istri adalah partner. Hubungan antara keduanya selayaknya partner yang saling mendukung. Bukan antara guru dan murid dimana suami adalah guru dan istri adalah muridnya. Mungkin benar bahwa suami adalah "guru kehidupan." Namun alangkah lebih baik jika yang terjadi adalah suami membimbing dan bukan menggurui. Karena sejatinya, belahan jiwa tetap belahan jiwa, bukan murid, bukan klient.