Pernah dengar tentang kasus PMKH atau COC? mulai dari kasus ringan hingga berat yang berujung pada kematian, masih sering terjadi di lembaga peradilan di Indonesia. PMKH atau COC memang masih terasa unfamiliar bagi masyarakat, bahkan tak sedikit aparat penegak hukum yang masih belum tau. Menurut ketentuan pasal 1 ayat 2 Peraturan Komisi Yudisial RI Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim, Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
Adapun definisi dari Contempt of Court (COC) menurut buku Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 terbitan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, disebutkan bahwa istilah Contempt of Court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea 4 yang berbunyi:
"...Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court."
Perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain: Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court); Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders); Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court); Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice); Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule).
Antara PMKH dengan Contempt of Court memang sekilas tampak sama dan sering disama artikan dalam masyarakat, padahal kedua hal ini berbeda. Singkatnya PMKH lebih fokus pada perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, seperti penyerangan, secara fisik maupun verbal di dalam maupun diluar pengadilan terhadap profesi hakim itu sendiri.
Contoh kasusnya cukup banyak, seperti yang terjadi di PN Bengkalis yang sering mengadili kasus narkotika, dan putusan yang dijatuhkan sering kali adalah hukuman mati, ternyata hal ini menimbulkan berbagai kasus peneroran terhadap hakim bahkan keluarganya, teror itu dilakukan di rumah dinas hakim berupa menyebar bangkai binatang di halaman, mencoret-coret dinding dengan gambar yang tidak senonoh yang khususnya terjadi pada hakim wanita.
Sempat ada tindakan merusak, seperti menusuk ban kendaraan yang digunakan hakim saat diparkir di PN Bengkalis dan sebagainya. Ada juga kasus di PN Jakarta Pusat, dimana pada saat hakim (Sunarso) sedang membaca putusan, tiba-tiba pengacara (Tomy Winata) memukul hakim (Sunarso) menggunakan tali ikat pinggangnya dan membuat hakim lainnya ikut terluka.
Bahkan kasus yang paling mengerikan hingga berujung kematian, seperti yang dialami oleh salah satu hakim di PA Sidoarjo Jawa Timur, setelah membaca putusan pembagian harta gono-gini, salah satu pihak yaitu M. Irfan menusuk isterinya Ny. Eka Suhartini hingga bersimbah darah, kemudia hakim anggota Taufiq yang ingi melerai malah diserang oleh M. Irfan hingga beerujung kematian pada kedua korban, dan juga kasus yang amat fenomenal Tommy Soeharto dibalik kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang akhirnya wafat akibat luka tembakan oleh dua orang tak dikenal menggunakan sepeda motor, yang akhirnya tertangkap dan mengakui perbuatannya sebagai suruhan oleh Tommy Soeharto, ini dilatarbelakangi oleh putusan yang dijatuhi oleh hakim Syaffiuddin pada Tommy atas kasus PT GBS dengan PT Bulog yang menyeret namanya.
Sedangkan Contempt of Court fokusnya pada lembaga peradilan secara umum, yaitu setiap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan itu sendiri. Contoh kasusnya juga sangat banyak, mulai dari kasus penyebaran ular kobra di PN Sumenep akibat ketidakpuasan pihak terhadap putusan majelis hakim, ada juga kasus kericuhan di Mahkamah Konstitusi dimana salah seorang pendukung peserta dalam sengketa Pilkada Maluku 2013 tak terima atas putusan MK, mereka memukul monitor, melempar kursi dan mendobrak masuk ke dalam ruang sidang.
Ada juga kasus di Pengadilan Tipikor Jambi, masyarakat berdemonstran dan membuat keributan di depan meja Pelayanan Informasi/lobi hingga mengganggu jalannya persidangan, bahkan ketua PN Jambi Badrun Zaini jadi sasaran aksi lempar kursi oleh salah seorang pendemo. Contempt of Court juga tak melulu soal penyerangan secara fisik, ada juga kasus penyerangan secara verbal oleh salah satu pengunjung di PN Sidoarjo Jawa Timur, yang berteriak di ruang sidang "Di Indonesia kalau tidak punya uang kalian bisa masuk penjara. Hakim bisa dibeli. Hakim kena sogok, hakim kena suap" kemudian tindakan ini dilaporkan oleh PN Sidoarjo ke pihak kepolisian.