Tingkat kerusakan hutan di Indonesia makin memprihatinkan. Pada tahun 2011 Indonesia pernah mencatat sejarah dunia sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia mencapai 7 juta ha per tahun atau setara 7,2 ha hutan per menit. Jika kondisi tersebut tetap dibiarkan, maka suatu saat hutan Indonesia akan kian gundul dan berimbas pada perubahan iklim yang saat ini mulai tidak terprediksi.
Berawal dari keprihatinan itulah, hingga Federasi Mountaineering Indonesia (FMI) Pengprov Sulsel tergerak untuk menerbitkan sebuah media edukasi lingkungan bernama Savana yang dilaunching pada 15 April lalu di Makassar.Media yang memiliki tagline Satu Bumi Untuk Semua ini diharap menjadi wadah bagi penggiat alam terbuka, aktivis lingkungan dan pemerhati lingkungan dalam menyampaikan kritik ataupun gagasan yang berpihak pada kelestarian lingkungan.
Ketua FMI Pengprov Sulsel Asmar Exwar berharap kehadiran majalah lingkungan Savana ini akan menjadi media edukasi tentang lingkungan yang tetap eksis di Sulsel. “Media ini membuka ruang seluas-luasnya bagi penggiat alam, aktivis lingkungan dan siapa saja yang mau menulis terkait keberpihakan kita pada lingkungan,” ujar Asmar disela-sela launchingmajalah Savana.
Sementara Pimpinan Redaksi Savana, Jesi Heny mengatakan, majalah Savana lahir dari keprihatinan ketika melihat gunung dan hutan kian hari kian tandus. Kesadaran akan pentingnya alam dan lingkungan harus dibangun jika tidak ingin bumi makin panas akibat pemanasan global. “Lewat media kami mencoba memberi pendidikan tentang pentingnya lingkungan bagi kelanjutan hidup manusia. Media ini memiliki aneka rubrik, semuanya terkait dengan lingkungan dan aktivitas PA. Siapa saja boleh mengirimkan tulisannya sesuai dengan rubrik yang disediakan. Dengan hadirnya majalah Savana kami ingin ada perubahan paradigma berpikir demi menekan laju kerusakan lingkungan, demikan juga kalangan PA jadi memiliki media dalam mengemukakan gagasan serta ide terkait pelestarian lingkungan,” urai Jesi.
Diskusi Lingkungan
Launching majalah Savana ini dirangkaikan dengan diskusi yang menghadirkan Asmin Amin (sesepuh Pecinta Alam Sulsel), Sri Endang Sukarsih (pemerhati lingkungan) dan Mustam Arif (aktivis NGO Sulsel) sebagai narasumber.
Dihadapan puluhan pecinta alam (PA) Makassar Sri Endang menekankan,sebagai seorang pecinta alam yang melakukan aktivitas di alam, maka PA diharap terus berbakti kepada alam. Caranya sederhana, selalu mencari solusi atau berinisiatif agar gunung atau hutan tidak gundul. “Karena PA ini yang melihat langsung kondisi hutan kita,” ujar aktivis lingkungan yang juga adalah Kepala Biro Napza Sulsel tersebut.
Senada dengan Sri Endang, Asmin Amin sesepuh PA Sulsel yang juga pendiri Kharisma Indonesia Cinta Alam (Kisca) Sulsel mengatakan, peran PA dalam menjaga hutan sangat penting. Apalagi PA memiliki kode etik yang menjadi filosofi hidup seorang pecinta alam. Kode etik itu menyebut antara lain, seorang PA harus memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya, mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air. “Ini antara lain filosofi hidup PA. Karena itu saya mengajak PA untuk kembali ke kode etik,” kata Asmin yang selangkah lagi bakal duduk di DPR RI menggantikan Anis Matta yang kini menjabat sebagai Presiden PKS.
Dalam diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam tersebut, Mustaf Arifyang juga Direktur Jurnal Celebes, NGO yang konsen terhadap advokasi lingkungan ini membeberkan data-data terkait kerusakan hutan,penyebabnya dan imbas dari kerusakan yang terjadi. Mustamjuga mengkritik Dinas Kehutanan Sulsel yang hingga kini tidak pernah mengupdate lahan kritis yang ada di Sulsel. “Data lahan kritis di Sulsel dari Tahun 2005 hingga 2012 luasnya tetap sama.Dishut Sulsel seharusnya sudah memberi data terbaru terkait luas lahan kritis ini,” tandas Mustam Arif menanggapi pertanyaan Wawan, peserta diskusi utusan Walhi Sulsel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H