Lihat ke Halaman Asli

Jeri Santoso

Wartawan

Barong Wae dan Para Penjaga Terakhir

Diperbarui: 4 September 2019   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masa kecil saya penuh dengan pengalaman-pengalaman yang tak terukur keseruannya. Ini jadi bagian paling memorable dalam  kisah hidup saya. Tanpa gadget dan alat elektronik sudah cukup buat saya menikmati kegembiraan masa kanak-kanak. 

Rie jarang (rie: balapan, jarang: mainan perahu yang terbuat dari gundukan daun kering) adalah permainan favorit anak-anak kampung saya dulu. Sekarang sudah sedikit diminati anak-anak bahkan tidak ada jenis permainan ini lagi. 

Rie jarang adalah sejenis balapan; pasti ada arena, dan juara sudah tentu yang mencapai garis finish paling awal. Runner up tidak dihitung di sini, apalagi seterusnya. Wkwkwkwk, egois banget.

Karena semua peserta punya ambisi jadi juara, maka harus mahir meramu dedaunan kering menyerupai bentuk perahu seperti biasanya.  Ada yang jago meramu hingga bentuknya super aerodinamis, ujung-ujungnya sangat lancip. Beruntunglah mereka, karena arena juara sudah pasti diperuntukkan orang-orang seperti mereka. Termasuk saya, lho!

Aliran sungai kecil di kampung saya cukup deras, ini yang bikin balapan jadi seru. Garis start dimulai dari hulu dekat mata air dan kurang lebih 20 meter berikutnya adalah garis finish.  Ya iyalah, mana mungkin mainnya sampai ke muara; bisa berminggu-minggu. 

Duapuluh meter sudah cukup buat balapan. Serunya lagi, yang jadi juara akan ditandu sampai ke tengah kampung layaknya seorang raja. Waduh, jadi rindu masa kecil dulu. 

Biasanya balapan usai kalau lopo Umbeng (lopo: sebutan untuk lansia) datang mengecek mata air. Orangnya menyeramkan, dan ditakuti anak-anak di kampung. Dialah orang yang rajin membersihkan mata air.

Sekarang rie jarang hanya mitos di kampung saya. Lagian sungainya sudah kering total. Rumput-rumput liar menjalar hingga ke mata air. Garis-garis tepi sungai sudah tidak tampak lagi, yang kelihatan malah perumputan gersang, bertengger serangga-serangga hutan di atasnya. Mata air ditutup, sumbernya disumbatkan pipa-pipa besi milik perusahaan air minum.

Masyarakat di kampung sudah tidak melakukan ritual barong wae lagi. Sebenarnya ini adalah ritual rutin tahunan di kampung saya agar mata air terus mengalir sepanjang tahun. Lewat ritual inilah kami menjaga air yang memberi kehidupan bertahun-tahun di kampung. Ah, sudahlah. 

Sekarang air bisa dirupiahkan. Para leluhur bisa digantikan mesin-mesin pompa air yang menyedot mata air hingga ke rahimnya. Tak ada yang menggantikan lopo Umbeng yang tiap hari rajin membersihkan mata air. Kawasan itu sepenuhnya milik korporasi. 

Tunggu dulu, itu kan air kami yang diberikan alam, kenapa harus bayar? Rekening air di rumah-rumah numpuk oleh digit-digit mata uang. Keresahan membayar lunas jadi pergunjingan ibu-ibu rumah tangga. Dimana barong wae? Dimana para leluhur? Dimana mata air kami?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline