Kesenjangan ekonomi adalah keadaan dimana terdapat perbedaan mencolok dalam distribusi pendapatan dan kekayaan pada individu atau kelompok di Masyarakat. Beberapa faktor penyebabnya antara lain pendidikan, pasar tenaga kerja, kebijakan ekonomi, dan demografi.
Dalam beberapa dekade terakhir, kesenjangan ekonomi menjadi perhatian di Indonesia. Menurut World Inequality Report 2022, kesenjangan di Indonesia tidak berubah secara signifikan dalam dua dekade terakhir.
Laporan tersebut mencatat, selama 2001-2021, kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional dimiliki oleh 50% penduduk Indonesia, sedangkan 60% kekayaan rumah tangga nasional dimiliki oleh 10% penduduk lainnya. Perlu diketahui bahwa kekayaan rumah tangga nasional adalah seluruh aset keuangan dan non-keuangan. Selain itu pada tahun 2021, rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia adalah 1 banding 19, yang berarti populasi kelas ekonomi teratas memiliki rata rata pendapatan 19 kali dari populasi kelas ekonomi terbawah. Rasio tersebut lebih tinggi dari negara negara maju seperti Amerika, Rusia, China, dan Korea Selatan yang berkisar pada 1 banding 14 hingga 17.
Bukan hanya itu, menurut Badan Pusat Statistika, gini ratio (semakin mendekati nol semakin baik) Indonesia 2023 berada pada level 0,388 sedangkan jika dilihat pada data World Bank, negara dengan gini ratio terkecil dan terbesar masing masing adalah Norwegia pada level 0,227 dan Afrika Selatan pada level 0,63.
Data-data tersebut menunjukan kesenjangan ekonomi di Indonesia yang masih lebar antara orang kaya dengan orang miskin sehingga data ini bisa menjadi pecutan bagi pemerintah untuk menekan kesenjangan dalam kebijakan-kebijakannya. Lalu kebijakan apa saja yang bisa menekan kesenjangan? Sebenarnya banyak sekali solusi yang dapat diambil untuk pemerintah dalam menangani kesenjangan ekonomi, seperti pemerataan pendidikan dan pelatihan, pengembangan sektor-sektor ekonomi yang dapat menambah lapangan pekerjaan hingga mendorong usaha kecil dan menengah (UKM). Kenyataannya banyak kebijakan sudah dilaksanakan oleh pemerintah namun hasilnya belum optimal dalam mengatasi kesenjangan tersebut. Lalu, apakah artinya pemerintah tidak optimal dalam melaksanakan kebijakan?
Atau beberapa kebijakan tersebut tidak cocok dilaksanakan di Indonesia? Untuk menjawab itu izinkan saya berfokus pada salah satu kebijakan pemerintah yaitu mendorong usaha mikro,kecil ,dan menengah (UMKM). Usaha pemerintah dalam mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memalui BUMN dilakukan dengan menyalurkan kredit sebagai modal untuk UMKM dengan syarat yang lebih mudah, kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat tumbuh nya UMKM di tanah air. Namun sayangnya penyaluran modal ke UMKM dengan syarat yang lebih mudah tidak dibarengi bunga kredit yang lebih murah.
Hal ini dapat dilihat pada besaran suku bunga untuk kredit usaha rakyat (KUR) pada bank-bank BUMN seperi BNI, Mandiri, dan BRI yang berkisar 6% hingga 7% setahun, sedangkan suku bunga kredit mikro bisa mencapai sekitar 14% setahun. Tingginya bunga kredit tersebut malahan menjadi beban tersendiri bagi pelaku UMKM yang ingin mengembangkan bisnisnya. Sehingga kenyataannya bunga kredit yang dibayarkan orang miskin hingga menengah ke bawah disalurkan kepada orang kaya sebagai bunga simpanan, yang pada akhirnya kesenjangan tidak kian menyempit tetapi kian melebar. Menurut saya, pemerintah bukannya belum optimal dalam membuat kebijakan, namun memang suku bunga Indonesia yang masih terlalu tinggi yang disebabkan ketergantungan pasar modal Indonesia pada investor asing. Langkah evaluasi yang dapat mengoptimalkan kebijakan mendorong sektor UMKM adalah menurunkan suku bunga kredit bagi UMKM dengan membatasi besarnya bunga simpanan sehingga redistribusi pendapatan atas kenaikan PDB Indonesia terdistribusi dengan baik antara orang kaya dengan orang miskin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H