Kemajuan teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Setiap hari, kita terbiasa dimudahkan dalam segala hal; misalnya, untuk mencari informasi, kita hanya perlu menghidupkan televisi. Meskipun kemudahan ini merupakan dampak positif dari kemajuan teknologi, permasalahannya adalah bahwa kemajuan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif, salah satunya adalah rasa malas karena semuanya terasa serba mudah.
Dunia pendidikan pun tidak terlepas dari kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi. Contohnya, seorang guru tidak lagi perlu berpikir keras dalam membuat soal ujian; cukup dengan meminta bantuan AI seperti ChatGPT, semua soal dapat langsung tersedia. Dari sudut pandang siswa, ujian bukan lagi masalah besar karena mereka tidak perlu belajar. Mereka cukup mengandalkan AI untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Kemudahan dalam pendidikan ini memunculkan pola pikir pragmatisme.
Pragmatisme yang masuk ke dalam pikiran siswa mengakibatkan tumpulnya kemampuan bernalar mereka. Ramlani Lina Sinaulan (2017) dalam bukunya Berpikir Filsafat Menuju Filsafat Ilmu menegaskan bahwa ada masa ketika seorang anak memiliki kemampuan bernalar yang sangat baik, yang disebut sebagai "the state of innocence." Dalam fase ini, anak yang polos selalu bertanya tentang segala hal, misalnya, "Mengapa langit itu biru?" atau "Mengapa aku harus makan sayur?" Namun, proses bertanya-tanya ini cenderung hilang ketika anak beranjak dewasa karena mereka merasa semua hal sudah seharusnya demikian. Rasa ingin tahu yang berlebih dianggap menyulitkan diri sendiri, yang dikenal sebagai "the state of innocence lost." Dalam konteks ini, pola pikir pragmatisme yang dipicu oleh kemajuan teknologi mempercepat proses kehilangan rasa ingin tahu tersebut.
Lantas, bagaimana cara menghambat proses berpikir pragmatisme yang berujung pada rasa malas bernalar siswa? Salah satu cara adalah dengan merancang kurikulum yang mewajibkan adanya proses bertukar pikiran, membaca minimal 20-30 halaman dalam seminggu, serta menerapkan problem based learning (PBL). Proses bertukar pikiran sangat penting karena mendorong siswa untuk berpikir secara luas dalam membahas satu permasalahan. Misalnya, ketika lima siswa melihat masalah kemiskinan, mereka akan mengemukakan lima sudut pandang yang berbeda: perspektif ekonomi, politik, pendidikan, geografi, dan sosiologi. Dari perspektif ekonomi, kemiskinan bisa dilihat sebagai akibat dari PHK(pemutusan hubungan kerja), sedangkan dari sudut politik, bisa disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang menyerap lapangan kerja. Dalam konteks pendidikan, kemiskinan dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, sementara dari sudut geografi, bisa terjadi karena kurangnya akses memenuhi kebutuhan antarwilayah. Dari perspektif sosiologis, kemiskinan bisa diakibatkan oleh penindasan terhadap kaum buruh oleh pemilik modal. Semakin sering proses bertukar pikiran dilakukan, semakin terbiasa siswa dalam mencari sudut pandang baru.
Kemampuan bertukar pikiran dapat ditingkatkan melalui kebiasaan membaca. Sebuah studi yang dilakukan oleh MDPI Journal of Psychology menunjukkan bahwa berpikir kritis lebih berkembang ketika siswa diminta untuk membaca secara reflektif. Membaca 20-30 halaman dianggap lebih efektif dibandingkan membaca ratusan halaman tanpa memahami dengan baik. Membaca secara reflektif mendorong siswa untuk berpikir tentang hubungan antara apa yang dibaca dan kehidupan sehari-hari, serta merangsang mereka untuk terus membaca demi menjawab pertanyaan yang ada di benak mereka.
Akhirnya, penting untuk menerapkan PBL dalam kurikulum. Melalui PBL, siswa secara aktif terlibat dalam penyelesaian masalah nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, PBL dapat diterapkan dalam proyek-proyek yang mengatasi masalah lingkungan lokal, seperti penanganan sampah plastik atau penghijauan daerah perkotaan. Melalui proyek ini, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga menerapkannya dalam situasi konkret, yang mendorong mereka untuk berpikir kritis dan menganalisis masalah dari berbagai sudut pandang.
Secara keseluruhan, kemajuan teknologi dapat menyulitkan kemampuan bernalar karena segala sesuatunya terasa terlalu mudah. Namun, dengan menerapkan kurikulum yang mencakup proses bertukar pikiran, membaca reflektif, dan PBL, kita dapat mempertahankan kemampuan bertanya dan proses berpikir siswa dalam dunia pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H