Penegakan hukum perpajakan menghadapi tantangan serius ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan adanya kasus pemalsuan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dan penggelapan setoran pajak pada periode 2018-2019. Upaya menghadapi masalah ini melibatkan penyitaan aset yang dilakukan di wilayah Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kanwil DJP Sulselbartra, dengan dukungan dari Tim Seksi Korwas PPNS Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Identitas tersangka dalam kasus pidana perpajakan ini diidentifikasi dengan inisial HW.
Penyitaan aset dilaksanakan oleh PPNS Kanwil DJP Sulselbartra sesuai dengan Surat Izin Penetapan dari Pengadilan Negeri Kolaka Nomor: 89/PenPid.B-SITA/2023/PN Kka, tanggal 15 Mei 2023. Aset yang pertama kali disita adalah sebidang tanah di Lamokato, Kolaka, Sulawesi Tenggara, dengan luas 412 m2 dan nilai sekitar Rp432.000.000. DJP menjelaskan bahwa tindakan penyitaan ini bertujuan untuk melindungi aset yang dimiliki oleh tersangka HW sebagai jaminan pemulihan atas kerugian pendapatan negara yang timbul akibat perbuatannya, sekaligus untuk mencegah aset tersebut hilang atau dipindahkan. Plt Kepala Bidang P2 Humas Kanwil DJP Sulselbartra, Alimuddin Lisaw, menyampaikan informasi ini melalui siaran pers pada Jumat, 11 Agustus 2023. Modus operasi yang digunakan terkait sengaja tidak menyetorkan pajak yang sudah dipungut dan/atau memberikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang berisi informasi yang tidak benar atau tidak lengkap, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dari sektor pajak sebesar minimal Rp 4,3 miliar.
Bagi Wajib Pajak yang melakukan kesalahan dalam pelaporan SPT, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, dapat melakukan pembetulan SPT sesuai dengan Pasal 8 UU KUP. Namun, bila kewajiban ini tidak dipenuhi, Wajib Pajak akan dikenai hukuman sesuai Pasal 39A UU KUP. Setoran pajak yang tidak mencerminkan transaksi sebenarnya dapat dikenai pidana dengan hukuman penjara minimal 2 tahun dan maksimal 6 tahun, serta denda hingga 6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak terkait.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami batas waktu yang diberikan. Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT harus memperhatikan masa waktu sanksi jatuh tempo selama 24 bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 dan 2a. Tarif penghitungan sanksi atas pembetulan SPT juga mengacu pada Pasal 8 ayat 2b, dimana ditetapkan penambahan sebesar 5% pada suku bunga acuan.
Mengingat kompleksitas aturan perpajakan, DJP memberikan himbauan kepada Wajib Pajak untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pelaporan SPT. Langkah-langkah pencegahan ini dapat membantu menjaga integritas dan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Pertama, pemahaman mendalam terhadap aturan perpajakan yang berlaku perlu dimiliki oleh Wajib Pajak. Ini mencakup pemahaman jenis transaksi yang dikenakan pajak, klasifikasi penghasilan, dan ketentuan pelaporan. Kedua, jika merasa kurang yakin atau menghadapi kompleksitas tertentu, Wajib Pajak disarankan untuk berkonsultasi dengan profesional perpajakan. Konsultasi ini dapat membantu memastikan bahwa pelaporan pajak dilakukan dengan benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketiga, memanfaatkan layanan elektronik yang disediakan oleh DJP untuk memudahkan proses pelaporan pajak. Wajib Pajak dihimbau untuk memanfaatkan layanan ini guna meminimalkan risiko kesalahan dalam pengisian SPT. Keempat, melakukan rekonsiliasi berkala antara transaksi keuangan dan catatan pajak dapat membantu mendeteksi kesalahan atau ketidaksesuaian sejak dini. Ini juga memastikan bahwa data yang dilaporkan sesuai dengan realitas transaksi yang terjadi. Terakhir, memantau perubahan hukum pajak yang dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Wajib Pajak disarankan untuk terus memantau perubahan hukum pajak dan mengadaptasi proses pelaporan mereka sesuai dengan perubahan tersebut.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan Wajib Pajak dapat menghindari kesalahan dalam pelaporan SPT yang dapat berujung pada pembetulan dan konsekuensi hukum yang tidak diinginkan. Pemerintah dan DJP berkomitmen untuk memberikan dukungan dan bimbingan kepada Wajib Pajak agar tetap mematuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dan tepat waktu. Kejadian ini menjadi momentum penting bagi semua pihak terkait untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran terkait ketaatan perpajakan. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa kedepannya, kasus serupa dapat diminimalkan, dan kepatuhan pajak dapat menjadi pondasi yang kuat dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H