Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Pemilu dan Ajakan Memilih Orang Baik

Diperbarui: 21 Februari 2019   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Relawan sedang memberitahukan tata cara mencoblos kepada warga. (Kompas.com/ Raja Umar)

Narasi politik berseliweran di segala penjuru. Di mana-mana orang menciptakan simbol demi memberi makna terhadap pilihan dan keberpihakan politiknya. Satu kubu mengklaim jagoannya sebagai yang paling hebat. Kubu lain membalasnya dengan narasi dan simbol tandingan.

Beberapa di antara ribuan narasi yang dikonstruksi itu melekat kuat di ingatan. Salah satunya adalah slogan "orang baik". Jauh sejak sebelum Jokowi maju dalam bursa pemilihan Presiden 2014, Anies Baswedan sudah menggunakan slogan "orang baik" ketika mendefinisikan mantan wali kota Solo itu. Di banyak pemberitaan, Anies Baswedan bahkan menonjolkan Jokowi sebagai "orang baik" yang seharusnya memimpin bangsa ini dibandingkan dengan calon-calon lainnya.

Anies Baswedan tampaknya ikut mengkonstruksi slogan-slogan lainnya yang juga melekat dalam ingatan. Dan itu dilakukannya baik ketika masih aktif memelopori gerakan Indonesia Mengajar maupun ketika mencoba masuk dalam bursa calon Presiden RI. 

Intinya, mantan Menteri Pendidikan Nasional itu mendorong agar orang baik tidak boleh berpuas diri hanya mengajar, membayar pajak, menjalankan perusahaan, dan semacamnya. 

Anies Baswedan ingin agar orang baik harus turun tangan, harus mengotori dirinya dengan peluh dan keringat supaya bisa mencegah orang jahat berkuasa.

Slogan tentang orang baik yang harus turun tangan atau yang harus berkuasa dan semacamnya membuat publik mengidealkan sosok pemimpin yang baik. Pemimpin sebagai orang baik dibayangkan sebagai sosok yang sederhana, sopan, pekerja keras, jujur, bersih, inklusif, mengerti apa yang dibutuhkan rakyat karena dia bagian dari kita dan semacamnya. 

Ditambah dengan wacana-wacana politik yang dikonstruksi orang seperti Anies Baswedan, terpelajar, cerdas dan memiliki gagasan, masuk menjadi bagian dari khayalan pemimpin yang baik itu.

Imaji yang sama juga mengental dalam benak Prabowo Subianto. Ketika mengampanyekan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam pemilihan gubernur DKI, mantan Danjen Kopassus itu tegas mengatakan, "... kalau orang baik diam, yang berkuasa adalah orang yang tidak baik."

Belakangan ungkapan "Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa" yang konon berasal dari Prof. Magnis-Suseno dan dipopulerkan Prof Mahfud MD, sepertinya mengafirmasi khayalan yang sama soal pemimpin ideal.

Bahkan untuk hal terakhir itu, publik menangkap kesan adanya keberpihakan pada Jokowi sebagai yang harus dimenangkan supaya mencegah calon yang buruk berkuasa. Kata-kata penutup Jokowi dalam debat pertama, 17 Januari 2019, seakan mengafirmasi watak pemimpin yang baik: "Kami tidak punya rekam jejak melanggar HAM, kami tidak punya rekam jejak melakukan kekerasan, kami juga tidak punya rekam jejak melakukan korupsi".

Personifikasi Saja Tidaklah Cukup

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline