Seorang sahabat karib yang juga adalah seorang pengajar dan praktisi media di sebuah perguruan tinggi swasta di Flores Tengah. Seperti kebanyakan orang yang menyukasi kegiatan swafoto dan aktif berdiskusi di media sosial, Rini Kartini atau yang lebih akrab disapa para sahabat dengan nama kecil Rere ini, memposting sebuah status yang kemudian dikomentari oleh lebih dari seratus orang.
Dalam sebuah status dan pajangan fotonya yang cantik yang diunggah pada Senin, 17 Desember 2018, pagi-pagi sekali (pukul 06:15), Rere dalam balutan kebaya berwarna keemasan dan bawahan batik, berdiri di depan sebuah kursi plastik dengan latar belakang hiasan kembang dan bingkai foto.
Sebuah kalimat pendek dituliskan Rere: "Give me, caption.." this pic said... . Ungkapan ini dalam bahasa gaul dirumuskan demikian, "Hey guys, kasi keterangan buat foto gue dong!"
Ungkapan semacam ini bukanlah hal baru dalam dunia media sosial. Bahkan tanpa ungkapan itu pun para pengikut Rere tidak hanya mafum, bahwa itu sebuah foto ekspresi diri, tetapi juga pantas ditanggapi dalam bahasa, ekspresi, atau emosi tertentu. Kegiatan semacam itu lazim dilakukan, tidak hanya oleh Rere, tetapi juga oleh jutaan orang di dunia yang aktif di dunia maya.
Catatan google tahun 2016 menyebutkan bahwa ada lebih dari 24 milyar swafoto yang diunggah di server google sampai bulan Juni 2016). Menariknya, dengan bantuan aplikasi image google, didapatkan bahwa ada lebih dari 200 juta swafoto alias self-portrait yang diunggah setiap bulannya.
Data mencengangkan juga kita bisa baca dari berbagai informasi yang tersedia online. America Online (AOL) menyitir data yang dirilis Rawhide, sebuah organisasi nirlaba, yang menunjukkan bahwa 74 persen dari swafoto yang diupload ke media sosial Snapchat adalah foto diri sendiri.
Juga kenyataan bahwa adalah lebih dari seribu swafoto yang diunggah setiap detik ke Instragram. Bahkan di tahun 2015, di Amerika Serikat, jumlah orang yang meninggal dunia sambil berswafoto ternyata lebih banyak dari mereka yang diserang ikan hiu.
Beragam Reaksi
Ada banyak sekali penelitian mengenai swafoto dengan tilikan dari beragam ilmu pengetahuan dan pendekatan. Ada penelitian yang fokus pada dampak negatif swafoto, pada tipe kepribadian orang yang menyenangi aktivitas swafoto, pada dampak negatif dari perilaku narsis berlebihan, pada potensi bunuh diri, dan sebagainya.
Tetapi juga ada banyak penelitian yang melihat swafoto sebagai suatu kegiatan yang sangat positif dan menyenangkan, kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gambaran diri yang sangat positif. Karena tulisan ini dipicu oleh reaksi saya terhadap status facebook sahabat saya, Rere, saya melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat positif.
Di aras inilah saya ingin menjawab pertanyaan ini: apa daya dorong internal yang membuat seseorang mau melakukan aktivitas swafoto? Jika itu sebuah aktivitas yang positif yang berasal dari gambaran diri yang sangat positif, seperti apakah gambaran diri orang-orang yang suka melakukan aktivitas semacam ini? Bagaimana kegiatan ini dapat dimaknakan secara filosofis (dimaknakan secara mendalam untuk menemukan substansi/esensinya)?
Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan membaca secara sekilas berbagai penelitian mengenai aktivitas swafoto. Jawaban terhadap pertanyaan kedua harus dikembalikan ke pelaku kegiatan swafoto, dan itu yang saya lakukan dalam perbincangan saya dengan Rere. Sementara kajian filosofis dapat dilakukan dengan merujuknya ke pemikiran dan tradisi filosofis tertentu dan kemudian menafsirkannya secara kreatif.