Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Pembangunan, Imajinasi Politik Mengenai Ruang dan Teritori serta Perasaan sebagai Bangsa Indonesia

Diperbarui: 2 Juni 2018   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi yang sangat bagus mengenai pembangunan ketika diposisikan dalam bingkai NKRI. Sumber: Ilustrasi foto Elshinta.com

Pembangunan infrastruktur digenjot habis sejak Joko "Jokowi" Widodo dan Jusuf Kalla menduduki tahta kekuasaan paling elit di Republik ini. Program kerja membangun Indonesia dari pinggir sepertinya mulai menuai hasil. Satu per satu jalan tol tampak selesai dan mulai diresmikan.

Pembangunan dam, pelabuhan laut, bandar udara, pasar, sekolah, dan ribuan lainnya dimaksud untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi rakyat, meskipun pertumbuhan itu belum nampak signifikan benar. Hal terakhir ini yang menjadi sasaran tembak para lawan politik, bahwa pembangunan ternyata tidak menyejahterakan, bahwa pembangun infrastruktur hanya akan menambah beban utang luar negeri yang sudah mencapai angka lebih dari 4 ribu triliun Rupiah.

Bahwa pembangunan fisik mulai menuai hasil, itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Juga bahwa cukup banyak pembangunan yang telah rampung itu sebetulnya adalah melanjutkan pembangunan yang sempat mangkrak dalam pemerintahan sebelumnya, itu juga fakta lain yang tidak bisa ditolak. Tetapi rupanya "fakta" sering diperlakukan berbeda di Republik tercinta ini.

Fakta bisa menjadi komoditas politik, yang celakanya, justru menjadi peluru yang ditembakan balik ke pihak yang telah dengan susah payah membangun negeri ini. Dan kita sadar betul, selama tahun 2018 dan tahun 2019 nanti, fakta ini akan terus digoreng, ya demi usaha merebut kekuasaan. Tidak lebih.

Saya termasuk orang yang membaca berita selesai dibangunnya sebuah proyek dengan mata berkaca-kaca dan rasa bangga. Belum lama berselang, saya membaca laporan wartawan Kompas tentang peresmian Bandara Internasional Kertajati. Reportase dengan angle terlibat itu, menurut saya, mampu menangkap rasa bangga masyarakat. Betapa mereka senang, bukan saja karena daerah mereka tidak lagi terisolir, tetapi juga karena kehidupan perekonomian pun menjadi lebih dinamis.

Saya juga memirsa dengan rasa bangga bagaimana pembangunan tol pantai Selatan Jawa (Tol Pansela) sudah mencapai tahap akhir. Menonton berbagai video yang diunggah para netizen yang pernah melalui jalur Pansela, yang menampakkan keindahan alam Pulau Jawa bagian selatan, desa-desa, hamparan sawah, gunung dan bukit yang menghijau, pasar warga yang tumpah ke jalan, dan semacamnya, sungguh menjadi adegan yang membangkitkan rasa bangga.

Demikian pula ketika memirsa kemajuan pembangunan jalan tol dan pembangunan aspek-aspek lainnya di Papua, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai pulau kecil di Indonesia. Lagi-lagi semua kemajuan itu terpampang di hadapan mata. Melalui video-video tersebut, saya seakan dibawa langsugn ke wilayah itu.

Rasanya sedang melintasi jalan-jalan nan mulus di Pansela, ikut naik kereta api yang mulai di bangun di Sulawesi Selatan, ikut dalam tawa rakyat di Sumatera, di lintas Kalimantan, senang berada di antara orang Papua dan seterusnya. Dan itu menciptakan memori yang begitu kuat dalam pikiran, sebuah memori tentang Indonesia.

Perlunya Narasi Nasionalistis

Jadi, pertanyaannya: untuk apa semua upaya pembangunan massif yang menghabiskan dana triliunan Rupiah itu? Dari perspektif lawan politik Jokowi, apakah sekadar pencitraan dan tidak lebih dari upaya melanggengkan kekuasaan untuk periode kedua tukang kayu dari Solo itu? Bagi saya, berbagai penafsiran soal pencitraan dan sebagainya justru menyakitkan.

Adalah fakta bahwa presiden Indonesia, siapapun dia, setiap pencapaiannya dapat dengan mudah dijadikan sebagai komoditas politik. Bahwa political interest seorang Jokowi untuk menjadi presiden RI periode kedua dengan cara membangun Indonesia, dalam kadar tertentu, pasti ada. Tidak ada tindakan altruistic yang sifatnya murni altruistic alias tanpa self-interest. Yang salah adalah mereduksikan semua pencapaian itu pada kutub kepentingan diri dan kepentingan politik jangka pendek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline