Apakah "drama" pengadilan Setya Novanto, terdakwa kasus e-KTP sebagaimana yang kita saksikan di Pengadilan hari ini, 13 Desember 2017, dapat dijelaskan berdasarkan kajian berpikir kritis? Jika ya, dalam arti apa pengadilan dan argumen yang dibangun para penasihat hukum Setnov di seputar isu sakitnya klien mereka dapat dikategorikan sebagai argumen ad misericordiam? Tulisan sederhana ini adalah upaya awal saya untuk menjawab pertanyaan ini. Tanggapan pembaca akan membantu saya menyempurnakannya lebih lanjut.
Argumentum ad misericordiam adalah kesesatan berpikir yang dilakukan ketika subjek yang sedang mengajukan pemikiran atau argumennya merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Hal-hal yang berhubungan dengan emosi yang dimaksud di sini, antara lain simpati atau perasaan bela-rasa (compassion). Hal ini dilakukan dengan maksud agar lawan bicara atau pendengar dapat menerima kesimpulan yang dia kemukakan.
Jenis kesesatan ini selain disebut juga argumen berdasarkan belas kasihan atau rasa kasihan (argument from pity or misery), juga disebut sebagai "argumen Galileo" (the Galileo argument) atau "kesesatan Galileo" (Galileo fallacy). Jenis kesesatan ini menggunakan nama "argumen Galileo" untuk merujuk kepada penderitaan yang dialami Sang Ilmuwan karena tahanan rumah yang dikenakan Pengadilan Gereja Katolik (Inquisition) kepadanya. Galileo sendiri mendukung pandangan Heliosentrisme yang dikemukakan Nicolas Copernicus, bahwa bukan bumi yang menjadi pusat tata surya (geosentrisme), melainkan matahari (heliosentrisme). Padahal sudah berabad-abad lamanya Gereja Katolik mempertahankan pandangan, bahwa bumilah yang menjadi pusat tata surya.
Argumen Galileo
Pemikiran di balik argumen Galileo mengatakan suatu gagasan atau pemikiran menjadi benar atau menjadi sesuatu yang dapat dipercaya jika ia merupakan gagasan atau pendapat yang dilarang, ditolak, atau dianggap tabu dalam masyarakat. Dalam hal ini, heliosentrisme sebagaimana dibela Galileo seharusnya diterima sebagai benar atau sekurang-kurangnya memiliki kredibilitas kebenaran karena telah dilarang atau dianggap haram oleh masyarakat (dalam hal ini adalah Gereja Katolik).
Cara berargumentasi seperti ini mengikuti alur berpikir logis seperti berikut (1) Klaim X dibuat; (2) Klaim X itu ternyata berbahaya atau dilarang; (3) Si A berargumentasi bahwa klaim Y tampaknya sangat berbahaya pada waktu itu, dan ternyata klaim tersebut adalah benar; (4)Karena itu, klaim X adalah benar (atau seharusnya kredibilitasnya dipertimbangkan sebagai benar).
Gampangnya bisa dilihat dalam contoh berikut. Seorang aktivis hak-hak perempuan, sebut saja Ali, mengklaim bahwa menjadi hamil di luar nikah adalah praktik yang benar dan diterima dalam masyarakat demokratis -- sebut saja masyarakat A -- yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan dalam menentukan pilihan moralnya. Padahal klaim itu berbahaya, terutama bagi masyarakat yang demokratis tetapi yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi dan pandangan moral agama, yang menekankan perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan sebagai landasan legal untuk hamil dan memiliki anak.
Di lain pihak, ada aktivis lain, taruhlah namanya Budi, mengatakan bahwa klaim lain yang lebih berbahaya justru diterima sebagai kelaziman dalam masyarakat --taruhlah namanya masyarakat B --, padahal masyarakat tersebut memiliki norma-norma agama yang ketat. Misalnya, masyarakat "anu" yang terkenal sangat konservatif justru menerima suatu klaim lain (misalnya perkawinan sesama jenis) sebagai benar dan melegalkannya. Berdasarkan hal ini, argumen yang dikemukakan Ali seharusnya dapat diterima sebagai benar atau sekurang-kurangnya memiliki kredibilitas kebenaran.
Dengan kata lain, melarang perempuan untuk hamil di luar nikah dengan alasan bahwa praktik itu dilarang di masyarakat A hanya akan memosisikan masyarakat (terutama kaum perempuan) sebagai korban. Padahal ada hal lain yang dilarang justru dapat diterima di masyarakat B. Dengan begitu, jika perempuan tetap dilarang untuk hamil di luar nikah, mereka hanya akan menjadi korban. Nah, deskripsi keadaan seperti ini dapat memicu simpati atau dukungan emosional kepada para perempuan di masyarakat A sebegitu rupa sehingga para pendengar dapat terpengaruh untuk membenarkan argumen, bahwa perempuan seharusnya berhak hamil di luar nikah.
Memainkan Emosi
Bagaimana tentang argumentum ad misericordiamitu sendiri sebagaimana umumnya dipahami dalam diskusi mengenai kesesatan berpikir? Jenis kesesatan ini tampaknya mengikuti alur berpikir seperti berikut: Subjek merujuk kepada aspek belas-kasihan atau rasa kasihan supaya pendengar atau lawan bicara dapat menyetujui atau mendukung argumen yang dia kemukakan.