Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Yusril Bisa Mengalahkan Ahok dalam Pemilukada DKI? Lagi-lagi Sebuah Kesesatan Berpikir

Diperbarui: 10 Desember 2015   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak tidak pernah tahu sampai kapan ruang publik dinodai oleh pikiran-pikiran sesat dalam arti tidak mengikuti kaidah-kaidah berpikir logis. Saya sudah mempublikasi beberapa di antaranya, dan dengan itu berharap bahwa pihak-pihak yang berkesempatan menyampaikan pendapatnya di ruang publik melakukannya secara benar dan logis. Jika itu tidak tercapai, berarti tugas kita sebagai pendidik masih berat dan menantang.

Kali ini, mari kita simak sebuah berita mengenai pemilukada. Kompas.com (lihat http://megapolitan.kompas.com/read/2015/12/09/20215361/Yuslih.Kalahkan.Adik.Ahok.Yusril.Ditantang.Maju.di.Pilkada.DKI?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=kpoprd) menurunkan sebuah berita menggelikan. Yusril Ihza Mahendra, pakar Tata Negara didorong maju mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur DKI menantang Ahok dalam Pemilukada serentak 2017. Pihak yang mendorong itu bernama Eko Dafid Afianto, Managing Director Cyrus Network Research and Consulting.

Mari kita simak alasan-alasan dibalik tantangan Eko Dafid ini.

  1. Yuslih Ihza Mahendra, kakak kandung Yusril Ihza Mahendra telah berhasil mengalahkan Basuri Cahya Purnama, adik kandung Ahok dalam Pemilukada di Belitung Timur.
  2. Tingkat partisipasi warga Belitung Timur dalam pemilukada cukup tinggi, yakni 78,74 persen.
  3. Kekalahan Basuri menunjukkan bahwa kinerja adik Ahok itu belum memuaskan selama 5 tahun memerintah.
  4. Telah terjadi perpindahan kekuasaan dari klan Purnama ke klan Mahendra.

Menurut teman-teman, adakah sesuatu yang aneh dari keempat alasan yang saya kemukakan di atas? Saya ingin membedahnya berdasarkan beberapa kaidah logis (hukum berpikir logis) yang saya ketahui.

Pertama, alasan nomor 1-3 tampaknya mengarah ke kenyataan dalam arti memiliki kandungan kebenaran berdasarkan kenyataan real. Meskipun demikian, alasan nomor 1 dan 2 lebih mendekati kenyataan (kebenaran keras/hard truth) dibandingkan dengan alasan nomor 3 (kebenaran lunak/soft truth). Betul bahwa Yuslih adalah kakak kandung Yusril. Juga betul bahwa Basuri adalah adik kandung Ahok. Betul juga bahwa partisipasi warga Belitung Timur dalam Pemilukada tergolong tinggi. Ini bisa dicek kebenarannya dengan memeriksanya dalam kenyataan. Tidak demikian dengan alasan nomor 3 yang menurut saya masih bisa diperdebatkan. Kita membutuhkan indicator-indikator khusus untuk bisa menjustifikasinya.

Kedua, alasan nomor 1 dan nomor 4 mengandung kesesatan serius. Fakta bahwa Yuslih Ihza Mahendra “berhasil” mengalahkan Basuri dalam Pemilukada di Belitung Timur tahun 2015 tidak berarti bahwa “Yusril “akan berhasil” mengalahkan Ahok dalam Pemilukada DKI 2017. Alasannya bukan karena Ahok susah dikalahkan, juga bukan karena Yusril sangat hebat sehingga bisa menjadi pemenang. Poin yang menyesatkan justru terdapat pada asumsi tersembunyi bahwa Ahok hanya bisa dikalahkan dan bahwa tidak sembarang orang bisa mengalahkannya. De facto sekarang keluarga Mahendra terbukti bisa mengalahkan keluarga Purnama, itu menjadi modal yang baik untuk pertarungan memperebutkan Kursi DKI-1.

Jadi, apa yang salah dengan asumsi ini? Atau, apa yang salah dengan pendapat Dafid Afianto? Kenyataan mengenai keluarga Mahendra dan keluarga Purnama serta kiprah politik masing-masing anggotanya tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menyimpulkan sebuah kemenangan politik. Kalau pun bisa, saudara David Afianto harus mampu menunjukkan paralelisme itu dengan praktik politik tertentu yang pernah eksis dalam sejarah. Kalau pun itu ada, apakah satu paralelisme saja cukup? Sebagai peneliti, mestinya saudara David Afianto mengerti dengan baik apakah hanya satu atau dua kenyataan partikular dapat menjadi alasan untuk menarik sebuah kesimpulan? Aturan berpikir kritis menuntut adanya term menengah atau penghubung antara fakta sebelum menarik kesimpulan. Tetapi juga diandaikan sekurang-kurangnya sebuah kenyataan objektif-universal sebagai penjustifikasi kebenaran ketika tidak tercapainya populasi yang dituntut dalam sebuah penelitian. Dalam arti itu, pernyataan saudara David Afianto itu tidak hanya menyesatkan dan ngawur tetapi cendrung bodoh.

Ketiga, bagaimana dengan alasan nomor 4 di atas? Ini lebih ngawur dan bodoh. Dengan mengatakan hal semacam ini, saudara David Afianto menegasikan proses demokrasi yang sangat menekankan kesetaraan dan bukan politik klan. Apakah yang bertarung dalam Pemilukada di Belitung Timur adalah keluarga Mahendra Vs keluarga Purnama? Apakah itu sebuah labelisasi yang sah dan tampak selama proses kampanye dan pencoblosan kemarin? Jika itu sebuah labelisasi yang sah, apakah David Afianto menerimanya juga sebagai wajar?

Per definisi, klan adalah “sekelompok orang yang disatukan oleh kekerabatan dan keturunan aktual atau yang dibayangkan sebagai ada, yang anggota-anggotanya mengatur dan membangun kekerabatan berdasarkan ikatan-ikatan kekerabatan turun-temurun maupun simbolik (lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Clan). Kita tidak tahu, apakah Purnama dan Mahendra itu benar dan layak disebut sebagai klan atau sekadar nama sebuah keluarga? Jika ternyata Mahendra atau Purnama bukan klan, maka apa yang dikatakan David Afianto tidak lebih dari sekadar bualan tanpa fakta. Berdasarkan hukum berpikir logis, apa yang dikatakan David Afianto ini disebut sebagai “beban pembuktian pada pembaca”. Karena kita tidak sedang berdialog atau berdebat secara langsung dengan David Afianto, maka dia harus menanggung beban pembuktian tersebut supaya dia bisa meyakinkan kita bahwa apa yang dikatakannya itu benar dan logis. Jika tidak, dia sendiri akan jatuh ke kesesatan berpikir yang disebut sebagai “argumen ketidaktahuan” (argument from ignorance) dalam arti menyimpulkan sesuatu karena ketidaktahuan (lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Philosophic_burden_of_proof).

Mengasumsikan berdasarkan profilnya, Eko David Afianto adalah seorang terpelajar (https://www.linkedin.com/in/eko-dafid-afianto-b73b06ab), seorang lulusan Perguruan Tinggi terkemuka yang seharusnya tidak bertindak gegabah dalam menyampaikan pendapat. Alasannya, beberapa hukum berpikir logis yang saya kemukakan di atas adalah materi pembelajaran critical thinking di tingkat-tingkat awal studi di perguruan tinggi. Karena itu, jika saudara David Afianto memaksudkan ini sebagai benar demikian, saya justru ragu, apakah Beliau sedang menganalisis realitas politik secara ilmiah atau sedang menawarkan dagangan (Cyrus Network) untuk Pemilukada yang akan datang.

Coba teman-teman memilih dan berpendapat mengenai hal ini!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline