Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Koq Hanya Satu yang Ucapin Terima Kasih?

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1342574242209788460

[caption id="attachment_194767" align="alignleft" width="300" caption="Berbagai ucapan terima kasih. Sumber: http://www.treasuresworldwide.com/product_images/3_Gratitude_286.jpg"][/caption] Tahun kuliah 2011/2012 memang sudah usai. Sekarang seluruh perguruan tinggi di republik ini bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Awal minggu pertama Agustus 2012 ini banyak universitas yang sudah harus memulai kegiatan orientasi mahasiswa. Sementara pertengahan bulan Agustus atau menjelang akhir Agustus nanti tahun perkuliahan 2012/2013 segera akan dimulai.

Beberapa hari lalu ada seorang mahasiswa menulis email ke saya, katanya, “Pak, terima kasih ya, sudah bersedia membimbing saya selama semester kemarin. Semoga Bapak tidak melupakan saya, ya!” Tentu saya tidak akan melupakan dia, bukan karena hanya dia yang mengucapkan terima kasih – secara tertulis via email – tetapi karena memang saya kenal anak itu. Tetapi persoalannya – ya setidak-tidaknya saya yang mempersoalkan – mengapa hanya ada satu mahasiswa yang mau mengucapkan terima kasih?

Terus terang saya terganggu dengan pertanyaan ini. Refleksi singkat ini menjadi semacam jalan katarsis bagi saya untuk menjawab sekaligus membebaskan pikiran saya dari jebakan pertanyaan semacam itu.

Saya teringat satu kisah, kebetulan kisah ini terjadi dalam Kitab Sucinya orang Kristen. Tepatnya di Injil Lukas 17:1-19 diceritakan bahwa suatu hari Yesus menyembuhkan sepuluh orang yang menderita penyakit lepra. Dikisahkan bahwa pada waktu itu Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem di mana dia melewati daerah perbatasan Samaria dan Galilea. Nah, di sebuah kampung dia didatangi oleh 10 orang kusta yang berteriak-teriak dan meminta agar mereka disembuhkan. Dia kemudian meminta kesepuluh orang kusta itu pergi memperlihatkan diri mereka ke imam-imam Yahudi, apakah mereka sudah sembuh atau belum. Sewaktu dalam perjalanan ke para imam itu penyakit mereka disemhbuhkan. Salah seorang dari mereka kembali ke Yesus dan mengucapkan terima kasih karena sudah sembuh, sementara sembilan yang lain pergi entah kemana. Yesus lalu bertanya, “Bukankah ada sepuluh orang yang disembuhkan? Di mana yang sembilan lagi?

Tanpa bermaksud menafsir kisah ini dan menjadikannya sebagai penghibur bagi pengalamanku, saya mencoba mencari jawaban atas pertanyaan saya di atas: mengapa hanya satu yang mengucapkan terima kasih? Di manakah ratusan bahkan ribuan mahasiswa lainnya? Jawabannya sederhana. Ada yang sedang jengkel dan kecewa karena setelah mengecek nilai mereka di website kampus ternyata mendapat nilai yang buruk atau kurang memadai, di luar ekspektasi mereka. Ada yang lebih jengkel lagi karena tidak lulus. Tetapi ada yang begitu menyadari bahwa nilainya bagus-bagus, lupa bahwa dosen ternyata cukup berperan dalam perkuliahan sehingga mereka bisa mendapatkan nilai demikian. Bisa jadi saking senangnya, mereka lupa mengucapkan terima kasih.

Menurut etimologinya, kata terima kasih dalam Bahasa Inggris “thank you” itu sebenarnya bentuk lengkapnya adalah “I thank you!” Orang dengan budaya Inggris atau Eropa saja tidak mengenal dan menggunakan kata ini sebelum abad ke-15 masehi. Artinya, kata ini merupakan sebuah konstruksi budaya. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sebelumnya manusia tidak tahu berterima kasih, karena tidak ada kata terima kasih dalam kamus mereka. Cara mengucapkan terima kasih bisa dalam berbagai bentuk, bahkan bisa dalam bentuk ekspresi tubuh, tatapan mata, pelukan hangat, dan sebagainya. Menarik bagi saya, bahwa dalam konstruksi budaya di mana kata terima kasih diperkenalkan dan digunakan (konteks Eropa), sangat jelas bahwa ekspresi itu berkaitan erat dengan salah satu karakter atau watak mulia yang disebut “gratitude”. Kata ini sendiri (“gratitude”) diterjemahkan secara sama dengan kata “thank you” ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “terima kasih”. Tetapi apakah kedua kata ini memiliki makna yang persis sama?

“Gratitude” sebagai watak atau karakter memiliki makna yang jauh lebih luas, karena dia menggambarkan sifat dasar seseorang. Si A bisa saja mengucapkan “terima kasih” kepada seseorang tetapi itu sekadar basa-basi, munafik, gerak bibir tanpa makna. Tetapi mereka yang memiliki watak atau karakter “gratitude” akan mengucapkan “terima kasih” sebagai bentuk dari ungkapan terima kasih, apresiasi, atau perasaan mendalam mereka kepada orang lain yang mereka ucapin terima kasih itu. Ucapan terima kasih dari mereka yang berwatak demikian akan menjadi semacam pengakuan (acknowledgement) bahwa berkat orang itu ada sesuatu kebaikan yang sudah mengalir dan bisa kualami saat ini. Dalam arti itu, saya kira saya bisa memahami mengapa ada banyak orang, termasuk mahasiswa saya yang tidak mengucapkan terima kasih. Pertama, kalau pun mereka semua mengucapkan terima kasih, apa artinya itu bagi saya jika mereka mengucapkannya hanya sekadar basa-basi? Lebih baik satu orang yang mengucapkan terima kasih tetapi dengan kedalaman dan ekspresi dari watak “gratitude”nya daripada seribu orang yang mengucapkannya tetapi tidak tulus. Kedua, ada atau tidak ada orang yang mengucapkan terima kasih, dorongan untuk membuat kebaikan – sebagai dosen adalah panggilan untuk mengajar secara baik dan benar – tetap tidak akan pernah hilang. Itulah watak atau sikap dasar berbuat baik sebagai panggilan, bahasa kerennya adalah profesionalisme.

Di atas saya menyitir sebuah kisah dari tradisi orang Kristen. Teman-teman Muslim pun memiliki tradisi yang tidak kalah kaya mengenai pentingnya mengucapkan terima kasih atau lebih tepat pentingnya memiliki watak berterima kasih dan bersyukur (o ya, watak “gratitude” saya rasa lebih tepat diterjemahkan sebagai “bersyukur”). Alquran mengajarkan kepada umat Islam untuk selalu memiliki hati penuh syukur kepada Allah SWT, bahwa mereka yang memiliki hati yang penuh syukur akan dianugerahi lebih banyak lagi berkat. Sebuah ungkapan tradisional Islam mengatakan, “Orang pertama yang akan dipanggil Allah ke Surga adalah mereka yang sudah menyembah dan memuliakan Tuhan dalam setiap kesempatan dalam seluruh hidupnya” Sebuah kutipan menjelaskan dengan baik hal ini: “If you are thankful, I will grant you increase” (Ibrahim 14:7). Dalam kehidupan sehari-hari, umat Muslim selalu mengucapkan kata “alhamdulillah” yang artinya “terpujilah hanya kepada Allah semata” (praise be to God). Sementara dalam Surah Al-Baqarah 2:152 dikatakan dengan jelas, “So remember Me, I will remember you; and be thankful to Me, and be not ungrateful towards Me.

Sebagaiseorang Kristen, saya hanya ingin belajar memperkaya diri dengan pandangan Islam mengenai pentingnya bersyukur dan berterima kasih ini. Sekali lagi, dalam tradisi Kristiani, syukur dan terima kasih itu merupakan dasar dari iman. Martin Luther sendiri berpendapat demikian, bahwa syukur dan terima kasih adalah landasan atau dasar iman Kristiani. Ini karena iman bahwa segala sesuatu ini diciptakan oleh Allah semata, bahwa tanpa penyertaan dan campur tangan-Nya dalam kehidupan ini, segalanya akan sia-sia. Bagi orang Kristiani, syukur dan terima kasih itu harus menjadi sebuah keutamaan (watak), sehingga praktiknya tidak menjadi hal yang hanya basa-basi atau munafik. Sikap syukur dan terima kasih sebagai watak itu pada akhirnya merupakan wujud kedalaman ikatan dan kepasrahan (iman) kepada Allah semata dan kerelaan untuk berbuat baik demi kebaikan sesama.

Untuk mengakhiri refleksi sederhana ini, saya hanya ingin mengatakan – dan bertekad untuk mengatakannya kepada para mahasiswaku – bahwa ternyata sikap syukur dan selalu mengatakan terima kasih kepada orang itu menyehatkan secara psikologis. Saya memang bukan seorang psikolog, tetapi dari apa yang saya baca dikatakan bahwa selalu bersyukur dan berterima kasih mempengaruhi pertumbuhan psikologis kita. Sikap ini ternyata membuka hati dan mengaktifkan emosi positif yang ada di dalam otak kita. Para psikolog berpendapat bahwa jika kita mempraktikkan hal ini setiap hari, maka neuron-neuron yang ada dalam otak kita akan berubah ke arah yang lebih positif dalam pola-pola yang otomatis. Katanya emosi-emosi positif yang kita injeksikan ke dalam otak kita itu akan memperkecil kemungkinan terjadinya pikiran negatif dan tertekan karena memperluas atau membuka pola-pola berpikir kita sehingga kita memiliki perspektif yang jauh lebh luas mengenai hidup kita. Ya, itu sedikit ilmu yang saya baca dari tulisan psikologi populer.

Intinya, ucapan syukur dan terima kasih itu perlu. Dari segi ajaran beragama juga dikatakan bahwa itu baik (Islam dan Kristen). Dari sudut keilmuan (psikologi) pun penting. Sebagai seorang guru (dosen), saya tentu merasa perlu memberitahu para mahasiswa bahwa mengucapkan terima kasih dan bersyukur itu baik bagi pertumbuhan kita menjadi orang dewasa yang matang. Tentu dengan pengandaian bahwa saya harus sudah memiliki rasa syukur dan terima kasih sebagai watak (keutamaan).

Terima kasih kepada mahasiswaku yang sudah mengucapkan terima kasih dan memicu refleksi sehingga tulisan ini bisa saya hasilkan. Demi nama Tuhan Sang Penguasa langit dan bumi, selamat beraktivitas. Salam!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline