Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Belanda ingin Melegalkan Peran Ibu Pengganti

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1329610464824302236

[caption id="attachment_163635" align="alignleft" width="400" caption="Freed Teeven, seorang Deputi Menteri Kehakiman."][/caption]

Pasti rekan-rekan masih ingat tulisan saya kali lalu tentang kasus ibu penganti (surrogate mother) di Cina. Pemerintah Cina, dengan kebijakan satu anak, melarang keras orang memiliki anak lebih dari satu, tetapi masih belum berhasil melarang pasar gelap gestational surrogacy (ibu pengganti yang sel telur dan spermanya berasal dari luar dan ditanamkan ke dalam rahim ibu pengganti). Praktik ini dianggap sebagai merendahkan martabat perempuan, karena memosisikan perempuan seperti hewan di kandang-kandang peternakan.

Kali ini beritanya berasa dari Belanda. Negerinya Ratu Yuliana ini memang terkenal sebagai negara pertama di dunia yang mengizinkan praktik euthanasia secara legal, tentu dengan seluruh ketentuan hukum yang harus dipenuhi. De facto sampai saat ini euthanasia masih tetap dipraktikkan. Tetapi selama saya studi di Belanda dan mengikuti berita-berita seputar praktik ini, euthanasi jelas bukan pilihan yang dilakukan serta-merta. Sekarang justru ada kecendrungan masyarakat Belanda untuk memilih perawatan paliatif bagi anggota keluarganya, di mana anggota keluarga yang sudah tua atau sakit-sakitan, meskipun tinggal di rumah jompo, diusahakan supaya meninggal dunia di rumah, dikelilingi oleh anak-anak dan keluarga. Dalam bahasa bioetika, kematian yang dulunya merupakan peristiwa privat sekarang justru menjadi publik. Ritus-ritus keagamaan di seputar kematian dan penguburan pun kembali hidup.

Okelah, itu tentang euthanasia di negeri Belanda. Kali ini tentang praktik surrogacy (ibu pengganti) di negeri kincir angin ini. Secara legal, ibu pengganti dengan alasan komersial di Belanda itu dilarang. Jadi, yang disebut gestational surrogacy itu dilarang. Yang diperbolehkan adalah praktik surrogacy yang legal. Caranya? Ibu atau perempuan yang merelakan rahimnya digunakan sebagai pengganti haruslah berasal dari anggota keluarga dengan pasangan yang menginginkan anak, harus melakukannya secara gratis (jadi dilarang keras komersialisasi), dan perempuan itu sendiri memang tidak ingin punya anak lagi selain merelakan rahimnya sebagai ibu pengganti.

Dalam praktik, syarat ini terasa cukup berat, karena sulit sekali mendapatkan ibu pengganti, jangankan dari perempuan anggota keluarga sendiri, perempuan Belanda lainnya pun jarang yang mau menjadi ibu pengganti. Sementara itu, “kebutuhan” memiliki anak melalui peran ibu pengganti semakin meningkat di Belanda. Dan ketika di dalam negeri terdapat kesulitan mencari ibu pengganti, di luar negeri – terutama di India – tersedia ribuan perempuan yang bersedia meminjamkan rahim mereka. Perempuan-perempuan India termasuk negara yang paling tinggi menjalankan peran sebagai ibu pengganti dengan keuntungan setahun ditaksir lebih dari 1,7 milliar Euro (kalikan saja jika satu Euro adalah 12,300 Rupiah). Banyak pasangan dari negeri Belanda kemudian memanfaatkan ibu pengganti dari India dengan bayaran rata-rata 1000 Euro per sekali meminjamkan rahim selama sekitar 9 bulan.

Masalahnya kemudian adalah ketika anak itu lahir dan dibawa ke Belanda, pasangan suami istri Belanda akan menghadapi hukum negeri Belanda yang menganggap praktik surogasi itu ilegal. Anak yang dilahirkan dari rahim perempuan non-anggota keluarga sendiri bertentangan dengan hukum negeri Belanda. Inilah alasannya yang mendorong Freed Teeven, seorang Deputi Menteri Kehakiman, tanggal 18 Februari 2012 kemarin mengusulkan perubahan hukum yang mengatur surrogacy demi “menyelamatkan” anak-anak yang terlahir dari rahim pinjaman dari perempuan non-Belanda dan non-anggota keluarga itu.

Freed Teeven mengajukan usulan agar anak yang lahir dari rahim pinjaman komersial perempuan non-Belanda harus diakui secara legal dan anak itu dicatat identitasnya sebagai orang Belanda asal syarat-syarat terpenuhi. Syaratnya adalah (1) identitas ibu pengganti itu harus diketahui, dan (2) sel telur dan sperma harus berasal dari pasangan orang Belanda.

[caption id="attachment_163636" align="alignleft" width="423" caption="Profesor Rene Hoksbergen, seorang ahli dalam masalah adopsi."]

1329610584828998947

[/caption]

Usulan Teeven ini bukan tanpa penolakan. Profesor Rene Hoksbergen, seorang ahli dalam masalah adopsi, jelas-jelas menolak usulan Teeven. Hoksbergen berpendapat bahwa apa yang diusulkan Teeven itu adalah “prostitusi reproduksi”. Maksudnya apa? Anda tahu prostitusi, kan? Perempuan digunakan hanya untuk menyalurkan hasrat seks dan setelah itu dia dibayar. Dalam hubungannya dengan surrogasi, menjadi ibu pengganti adalah praktik dalam wilayah reproduksi. Perempuan yang merelakan rahimnya dipinjam oleh orang Belanda tidak ubahnya pelacur. Rahimnya dipinjam selama sembilan bulan, dan setelah melahirkan, dia dibayar. Intinya sama: perempuan menjadi objek.

Saya belum mendapat data apakah ada atau pernah ada perempuan Indonesia yang menjadi ibu pengganti dengan alasan komersial. Jika ada pembaca yang kenal atau tahu data tersebut, mungkin baik  untuk kita diskusikan masalah-masalah etis yang ditimbulkannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline