Lihat ke Halaman Asli

Ancaman RUU Larangan Minuman Beralkohol Bagi Keberagaman

Diperbarui: 13 November 2020   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: https://www.huffpost.com/entry/why-are-alcoholic-drinks-called-booze_n_5aeb2414e4b0c4f1931fb0cf

Sangkalan:

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyinggung suku, agama, ras maupun golongan apapun yang disebutkan dalam tulisan ini.

Tidak semua orang bisa mengonsumsi minuman beralkohol, entah itu dalam jenis minuman bir, wine, vodka, whiskey, arak, tuak, soju, sake, atau apa pun itu jenisnya. Sejumlah orang tidak dapat menikmati minuman beralkohol bukan hanya karena tidak mampu tapi karena adanya larangan dalam ajaran agama maupun kepercayaan yang mereka anut.

Umat beragama Islam misalnya tidak boleh mengonsumsi minuman beralkohol karena agama Islam mengajarkan demikian. Namun mayoritas denominasi dalam agama Kristen misalnya memperbolehkan para penganutnya mengonsumsi alkohol dalam batas tertentu. Bahkan dalam upacara keagamaan kristiani yang bernama Sakramen Perjamuan Kudus atau Sakramen Ekaristi, umat kristiani yang diperbolehkan mengikuti upacara ini menurut ketentuan gereja minum minuman anggur, baik itu yang beralkohol maupun yang tidak, untuk mengenang Yesus Kristus yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya untuk disalibkan demi menebus dosa manusia.

Baik mereka yang dilarang maupun mereka yang diizinkan mengonsumsi minuman beralkohol, kedua kelompok masyarakat ini ada dan hidup di sebuah negara bernama Republik Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama tetap tidak meminum minuman beralkohol, walaupun ada sebagian dari mereka yang tetap minum minuman beralkohol. Namun ada sebagian kecil masyarakat Indonesia yang menganut agama maupun kepercayaan mengizinkan para penganutnya minum minuman beralkohol tetap minum minuman ini, baik itu dalam batas tertentu maupun melanggar batas yang ditentukan.

Mengonsumsi minuman beralkohol pun juga menjadi tradisi dalam sejumlah masyarakat adat di Indonesia, terlebih masyarakat adat yang kebanyakan beragama Kristen. Masyarakat adat Batak Toba misalnya menjajakan minuman beralkohol seperti bir atau tuak untuk dinikmati bersama-sama pada acara sukacita seperti pernikahan maupun syukuran.

Dalam tradisi masyarakat di Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua dikenal minuman bernama Sopi yang terbuat dari fermentasi buah Enau. Masyarakat di Maluku menggunakan Sopi tidak hanya untuk upacara adat, tapi juga untuk menyelesaikan konflik dalam satu keluarga maupun konflik antar desa. Bahkan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang untuk meluncurkan produk minuman Sopi bernama "Sopia" dengan harga Rp750.000,00 per botol.

Minuman beralkohol bukan hanya digunakan dalam masyarakat adat tetapi juga menjadi komoditas pariwisata. Sebut saja Bali yang menjadi salah destinasi wisata dunia. Turis dari dalam maupun luar negeri mengunjungi bar, pub maupun club untuk bersosialisasi dengan sesama pengunjung sambil mengonsumsi minuman beralkohol. Restoran-restoran yang menghidangkan masakan fine dining menjajakan minuman beralkohol seperti wine sebagai pendamping sajian. Di Bali pun dapat ditemukan sejumlah perkebunan anggur yang ditujukan untuk membuat minuman beralkohol wine, baik itu minuman wine untuk dipasarkan secara komersil maupun minuman anggur yang digunakan untuk Sakramen Perjamuan Kudus atau Sakramen Ekaristi bagi gereja-gereja Kristen.

Kenyataan bahwa ada sekelompok masyarakat penganut agama maupun kepercayaan di Indonesia yang tidak dilarang untuk minum minuman beralkohol nampaknya tidak dapat dipahami dengan baik oleh 21 legislator DPR-RI ketika mereka mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol. 18 legislator pengusul berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 2 legislator pengusul berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan 1 legislator pengusul berasal dari Partai Gerindra. Mayoritas legislator pengusul RUU ini berasal dari partai politik yang berbasis agama Islam.

Jika kita melihat situs pelacakan pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada situs DPR-RI, dicantumkan bahwa pada tanggal 11 November 2020 para legislator pengusul RUU ini diberikan kesempatan untuk menjelaskan maksud mereka mengusulkan RUU ini. Situs tersebut juga melampirkan salindia atau slide PowerPoint penjelasan para pengusul tentang usulan RUU ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline