Lihat ke Halaman Asli

JepretPotret

........ ........

Sistem Zonasi PPDB, Semua Bisa Sekolah!

Diperbarui: 14 Agustus 2018   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: JepretPotret

Ketika masih berdomisili di kota Surabaya Jawa Timur pada tahun 2015, seorang keponakan telah masuk jenjang pendidikan menengah atas. Sekolah yang dimasukinya merupakan salah satu SMA negeri favorit yang berada di tengah pusat kota. Sementara dia tinggal di pinggiran kota yang lumayan jauh lokasinya. Menariknya lokasi sekolah ini berada satu kompleks dengan tiga SMA negeri favorit lainnya. 

Seringkali melintas di sekitaran kompleks sekolah tersebut, terlihat di jalan raya terparkir kendaraan pribadi roda empat milik para siswa. Mobil yang terparkir tersebut, tergolong keluaran baru dan termasuk mewah untuk ukuran seorang siswa. Belum lagi ketika jam pulang sekolah, cukup banyak mobil yang berkategori lebih mewah lagi datang menjemput sang siswa. 

Segala ingatan tersebut terngiang kembali, saat turut hadir dalam Kompasiana Perspektif di Kantor Pusat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jakarta Selatan pada 6 Agustus 2018 lalu. 

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi perbincangan utama dalam diskusi menarik antara BKLM Kemendikbud dan Kompasianer. Hal ini terkait PPDB yang diatur sesuai zonasi, yang mulai diterapkan pada Tahun Ajaran 2017/2018. Pengaturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017. 

Penerapan sistem zonasi berdasarkan Permendikbud No.17 Tahun 2017 tersebut, dimulai dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas dan bentuk lain yang sederajat. Untuk tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sistem zonasi tak berlaku. Enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB, domisili calon peserta sudah harus berdasarkan alamat pada kartu keluarga. 

Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima minimal 90% total jumlah peserta didik baru, yang berdomisili pada radius wilayah (zona) terdekat sekolah. Lalu kriteria 10% dari total peserta didik baru, terbagi menjadi lima persen melalui jalur prestasi dan lima persen yang mengalami perpindahan domisili. 

"Sistem Zonasi merupakan upaya pemerataan akses pendidikan," ujar Kepala Biro Komunikasi & Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud RI Dr. Ir Ari Santoso, DEA. 

Pemerataan mutu pendidikan ini tak hanya untuk menghilangkan stigma sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Namun juga mengantisipasi tak terjadinya penumpukan siswa-siswa cerdas dan guru-guru berkualitas di sebuah sekolah. Sehingga kehidupan kelas yang heterogen, akan memacu kreativitas mengajar dari guru. 

Sistem zonasi akan memberikan kesempatan bagi siswa tak mampu untuk dapat bersekolah di dekat rumahnya. Dengan berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), semua biaya pendidikan akan ditanggung oleh pemerintah. Kini semua bisa sekolah, tanpa khawatir lagi dengan segala batasannya. 

"Ini akan menjamin anak-anak tak mampu, untuk mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan yang lainnya," kata Ari Santoso. 

Kemudian Ari Santoso mengingatkan bahwa SKTM adalah sebuah produk hukum. Penyalahgunaan atas penerbitan SKTM yang berkekuatan hukum, akan dapat diproses dengan ancaman hukum pidana. Ari Santoso mengutip cerita petugas di lapangan, pernah ada laporan bahwa ketika sang orangtua calon siswa ditanya SKTM oleh petugas PPDB malah dijawab tertinggal di mobilnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline