Lihat ke Halaman Asli

JepretPotret

........ ........

Lelahnya Menanggung Risiko Kabut Asap Berkelanjutan

Diperbarui: 13 Juni 2017   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Antaranews.com

Kabut asap berkelanjutan. Ternyata oh ternyata, tak hanya pembangunan saja yang mesti berkelanjutan. Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pun dapat terus berkelanjutan, menuruti kepentingan perekonomian kalangan tertentu. Kejadian "hari gelap" itu lagi itu lagi, yang terus berulang kembali setiap tahunnya. Dikenal sebagai bangsa yang cepat 'pelupa' dan 'pemaaf', memang masyarakat perlu diingatkan agar tidak selalu mudah melupakannya. Memangnya masyarakat tak lelah menanggung risiko kabut asap yang berkelanjutan? 

Dalam Green Ramadhan KLHK yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) pada 9 Juni 2017 lalu di Manggala Wanabakti Jakarta Pusat, kami mengupas isu karhutla (forest fire) yang sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan bernegara. Narasumber yang hadir antara lain berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi & Geofisika (BMKG), Akademisi Institut Pertanian Bogor, Akademisi Universitas Gadjah Mada, Sosiolog Universitas Indonesia, Penggiat Lingkungan Propinsi Riau, dengan moderator Effransjah Siregar.

Woro Supartinah (Penggiat Lingkungan Masyarakat Riau) mengingatkan kembali kabut asap pada tahun 2015 di Riau, merupakan peristiwa karhutla terberat yang harus dilalui dalam 18 tahun terakhir. Catatan kelam tersebut mengakibatkan kerugian nilai ekonomi sebesar Rp 200 triliun. Selain banyak anak-anak yang tak dapat bersekolah dan terganggunya moda transportasi, terjadi pula peningkatan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Diperkirakan ada kurang lebih 97.000 dari 425.000 orang yang menderita ISPA. Tercatat 19 orang meninggal dunia, di mana tiga di antaranya adalah anak-anak.

Biaya operasional sebuah helikopter untuk pemadaman karhutla (combating fire) mencapai  6.000 dolar AS per jamnya. Biaya penanggulangan karhutla selama satu bulan pada tahun 2014 mencapai Rp 164 milyar.

Karhutla itu bukan sekadar insiden yang biasa, melainkan bencana yang disebabkan adanya niat kejahatan. Karhutla terjadi disebabkan pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat guna. Penyimpangan terhadap pemberian izin Hutan Tanaman Industri (HTI), di mana pengeringan lahan gambut dengan sekat kanal-kanal. Padahal lahan gambut harus dalam keadaan basah. Gambut yang kering itu bagaikan hamparan bensin/minyak tanah yang sewaktu-waktu siap menjadi nyala api.

Tanah gambut secara fisik sebenarnya tidak subur, maka selain faktor ekonomis dengan pembakaran diyakini akan lebih menyuburkan tanah.
Adapula motif lain pembakaran itu dilakukan yaitu untuk melakukan intimidasi/pengusiran terhadap penduduk setempat yang berkonflik dengan perusahaan pemegang izin HTI.

Audit di tahun 2014 menunjukkan banyak ketidakpatuhan dilakukan oleh para pemegang konsesi HTI. Lebih dari 90% sekitar 17 obyek yang diaudit, tidak menyediakan sarana pencegahan kebakaran yang sesuai standardisasi.

Melalui berbagai investigasi lapangan, dapat ditemukan akan adanya usaha penanaman sawit dan akasia pasca karhutla. Kerusakan ekosistem yang terang benderang dan menyengsarakan rakyat ini, diusulkan oleh Woro Supartinah agar dilakukan peninjauan kembali aturan secara tegas atas konsesi yang telah dikeluarkan.

Foto:JEPRETPOTRET

Tri Budiarto (Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB) melihat suasana paradoksal dalam masyarakat. Masih adanya pengulangan terus menerus dari masyarakat, yang telah mengetahui berbahayanya membakar namun tetap melakukannya lagi. Hal ini akibat terjadinya pembiaran tanpa adanya penindakan tegas.

Imunitas negatif nampak pada masyarakat Sumatera dan Kalimantan yang telah kebal terhadap namanya asap, ini terlihat beraktivitas dan berkendara di jalanan tanpa menggunakan masker maupun helm. Padahal telah terpampang papan informasi elektronik indeks pencemar udara yang menandakan warna hitam pekat, sebagai alarm kondisi udara melewati ambang batas. Ini kemungkinan ada anggapan bahwa asap tidak membunuh saat itu juga.

Rumusan sederhana dari bencana asap (BA) yaitu fungsi (kekeringan tanah, angin, sumber api, kelas pohon, target ekonomi, luas wilayah) dan pembiaran.

Faktor pembiaran merupakan hal yang harus dihilangkan dalam penanganan kabut asap. Ini diperlukan agar tak sekedar retorika saja.

Ada dua hal yang selalu terulang dalam penanganan isu karhutla. Pertama adanya perilaku selalu merasa berhasil tanpa ada keinginan melakukan evaluasi mendalam pelaksanaan program. Kemudian kedua adalah anggaran dan program yang dis-kontinyu disertai tidak adanya kemauan untuk mengevaluasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline