Lihat ke Halaman Asli

Pemilu 2014 Melanggar Konstitusi

Diperbarui: 4 April 2017   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Pengujian Undang Undang (judicial review) terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali, dkk. sore tadi (23 Januari 2014). MK mengabulkan PUU tersebut dan dengan demikian berarti MK membenarkan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden yang dilakukan terpisah adalah melanggar konstitusi (Undang Undang Dasar 1945).

Namun demikian, dalam keputusan yang sama MK menyatakan pemilu yang dilakukan serentak baru akan diberlakukan untuk pemilu 2019 karena bila diberlakukan pemilu 2014 ini akan menyebabkan persiapan pemilu akan dapat mengacaukan proses penyelenggaraan pemilu itu sendiri.

Selain itu, dalam keputusan yang sama MK menyatakan bahwa pemilu 2009 dan 2014 yang diselanggarakan berdasarkan UU No. 42 Tahun 2008 adalah sah.

Seperti itulah inti dari keputusan MK terhadap PUU oleh Effendi Gazali, dkk. Selang beberapa menit setelah keputusan itu dibacakan, segera disambut hangat dan suka-cita oleh Partai Nasdem melalui Metro TV dengan mengatakan bahwa keputusan MK tersebut TAB (tepat, arif, dan bijak).

Pemilu 2014 sah tetapi melanggar konstitusi

Disadari atau tidak keputusan MK tersebut telah menciptakan blunder yang menyebabkan penyelenggaraan pemilu 2014 ini tidak memiliki kepastian hukum. Pasal-pasal yang berkenaan dengan pengaturan pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang terpisah dengan pemilu legislatif dalam UU No. 42 Tahun 2008 telah dinyatakan gugur/tidak berlaku. Padahal KPU telah menetapkan bahwa pemilu Presiden dilakukan terpisah dari pemilu legislatif.

Dengan fakta seperti itu berarti pemilu 2014 ini dilaksanakan dengan melanggar konstitusi. Pemilu yang bertentangan/melanggar/tidak sesuai dengan konstitusi menyebabkan legitimasinya dipertanyakan.

Namun dalam acara debat di televisi semalam, anggota DPR Lukman Hakim berpendapat lain. Ia menegaskan, meskipun suatu hal tidak diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, keputusan MK itu sendiri berlaku sebagai konstitusi karena konstitusi bukan semata-mata Undang Undang Dasar.

Pemikiran Lukman ini secara akademik dekat dengan aliran konstitusionalisme dalam disiplin ilmu hukum tata negara. Aliran konstitusionalisme memang beranggapan bahwa yang disebut konstitusi adalah hukum dasar yang menjadi sumber hukum penyelenggaraan negara yang tidak terbatas pada hukum-hukum tertulis, melainkan juga kebiasaan-kebiasaan, praktik yang diakui, dan bahkan dapat berupa keputusan-keputusan hukum yang terserak dalam berbagai undang-undang.

Katakanlah, seandainya pendapat Lukman itu dapat diterapkan, maka pemilu 2014 yang sebentar lagi dihelat tetap saja berstatus melanggar konstitusi. Mengapa? Karena keputusan MK yang disebut Lukman sebagai konstitusi juga telah dengan tegas bahwa pelaksanaan pemilu 2014 ini tidak sesuai dengan konstitusi.

Dalam keputusan MK juga disebutkan bahwa pemilu yang sudah dilaksanakan yakni pemilu 2009 dan pemilu yang akan dilaksanakan yakni pemilu 2014 dinyatakan sah secara hukum. Artinya, MK menyatakan pemilu 2014 sah tetapi tidak sesuai dengan konstitusi!

Menjadi blunder

Bagaimana mungkin sebuah ketetapan hukum menyatakan bahwa sebuah aturan hukum menyatakan dilaksanakannya sesuatu (cq. Pemilu 2014) dianggap sah tetapi melanggar konstitusi?

Dalam beberapa kasus memang ada praktik hukum di mana pengaturan sesuatu ditetapkan secara sah oleh lembaga yang legitimate walaupun hal itu bertentangan dengan hukum tertulis yang ada.

Misalnya lahirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sempat dinyatakan oleh beberapa pakar hukum sebagai lembaga yang inkonstitusional. Namun melalui keputusan MK, status KPK dinyatakan sah (konstitusional) sampai legislasi yang mendasari keberadaannya dibuat sesuai dengan tuntutan konstitusi.

Ini berbeda dengan kasus pelaksanaan pemilu 2014. Karena pelaksanaan pemilu 2014 sudah ada undang-undangnya tetapi undang-undang itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Blunder seperti ini seharusnya tidak akan terjadi bila MK membacakan keputusannya jauh-jauh hari sehingga alasan tidak dapat diberlakukannya pemilu serentak pada 2014 ini gugur. Menurut mantan Ketua MK Machfud MD, keputusan PUU itu sudah selesai diputuskan pada 26 Maret 2013. Sehingga, jika keputusan itu dibacakan dalam waktu yang relatif cepat maka rakyat Indonesia dapat menikmati pemilu 2014 ini tanpa hambatan pelanggaran konstitusi.

Selain MK sendiri yang mengetahui mengapa keputusan itu tertunda dibacakan sampai 9 bulan, tak ada penjelasan dari pihak-pihak lain. Machfud MD yang waktu keputusan itu dibuat masih menjadi hakim konstitusi sekaligus Ketua MK hanya mengatakan, karena ia pensiun pada 1 April 2013, ia tidak nyaman kalau dalam waktu beberapa hari MK membacakan keputusan tersebut di saat dalam beberapa hari ia mengakhiri tugasnya dari MK.

Dengan kejadian itu, layak kiranya orang memiliki persepsi bahwa ada permainan politik dalam pembuatan kepastian hukum menyangkut hajat bangsa yaitu pemilihan umum. Aroma politiknya begitu kental, namun wujudnya sangat abstrak. Mirip gas beracun, yang sewaktu-waktu mendekati dan membunuh orang tanpa diketahui kedatangannya. <<>>

ARTIKEL TERKAIT:

Ada Apa Partai Nasdem Minta Pemilu Tidak Serentak

Jika MK Setuju Maka Akan Ada Partai yang Rontok





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline