Lihat ke Halaman Asli

Selalu Ada SBY dan ARB di Musim Penghujan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari belakangan ini menonton TV adalah menonton saudara-saudara kita yang kesusahan akibat banjir. Banyak kota yang dilanda banjir hingga menenggelamkan rumah-rumah. Di Jakarta, Manado, Palu, Tangerang, Blitar, Banjarbaru, Jepara, Pati, Pekalongan, dan masih banyak lagi kota lainnya dirundung bencana.

Mata ini tak sadar berkaca-kaca, meskipun airmata tidak sampai menetes ke pipi. Saya dapat merasakan kesedihan mereka karena kami sekeluarga dulu sering menderita ketika musim penghujan tiba.

Penderitaan akibat hujan sehari-hari yang tiada henti semakin menjadi-jadi karena berbarengan dengan musim paceklik. Bahan makanan, seperti beras, ketela pohon, atau jagung menipis sampai musim panen tiba beberapa bulan berikutnya, ketika saya masih ikut orangtua angkat saya yang mengandalkan pencaharian dari bertani.

Setelah beranjak memasuki usia sekolah dasar saya kembali ke orangtua kandung di sebuah desa ibukota kecamatan, di Kabupaten Pekalongan yang jauh dari kota. Ayah seorang pegawai rendah yang gajinya tak cukup untuk memberi makan ke-6 anaknya yang masih kecil-kecil. Tetapi kehidupan susah juga dirasakan oleh sebagian penduduk desa kami.

Lauk-pauk makanan sehari-hari di desa kami umumnya tahu, tempe, ikan asin ditambah sayur yang bahannya sebagian berasal dari kebun sendiri. Sayur kacang panjang, daun melinjo, daun singkong, kangkung, dan bayam merupakan sayur yang menjadi modus menu harian. Disebut modus karena yang paling sering muncul. Sesekali sayur lodeh dari daun singkong kami nikmati.

Menu sayur yang paling saya sukai adalah kulup daun ubi jalar yang dipasangkan dengan sambal asam kawak. Kulup adalah istilah lain kami untuk daun-daunan yang cuma direbus. Tapi rasanya sungguh nikmat karena biasanya dimakan dengan sambal. Nah, sambal yang paling “matching” adalah sambal asam kawak.

Bahan sambal ini sederhana saja, yaitu cabe merah dan rawit yang direbus, terasi, garam, dan gula pasir. Tentu saja bahan itu masih ditambah asam kawak yang masak pohon. Rasanya bertambah nikmat bila dihidangkan waktu makan siang, di mana udara panas. Sesaat makan siang selesai kami semua megap-megap karena kepedasan sambal yang rasanya memang sengaja dibuat sepedas-pedasnya.

Kenikmatan akan muncul setelah rasa pedasnya berkurang dan keringat yang bercucuran mulai terkena angin dari arah pepohonan yang banyak terdapat di desa kami. Itulah puncak nikmat makan kulup daun ubi jalar beserta sambalnya.

Selalu muncul pertanyaan SBY bila hujan turun di hulu

Penderitaan kami barangkali lebih banyak pada musim penghujan daripada musim kemarau. Di musim ini perut mudah lapar tetapi makanan camilan tidak banyak, tidak bisa bermain atau memancing bersama teman-teman ke sungai. Akibatnya, kami harus banyak di rumah yang terasa sempit dengan penghuni 8 orang sementara ukuran rumah kira-kira setara rumah Perumnas tipe 42.

Ketika hujan tidak turun biasanya pagi saya dan teman-teman sebaya memancing di sungai. Selain itu merupakan kegiatan yang mengasyikkan, juga hasil memancing memperbaiki menu rutin kami. Ikan wader, lele, atau ikan gabus yang digoreng tentu lebih enak daripada tahu dan tempe.

Di saat musim penghujan tiba aktivitas memancing jauh berkurang. Sebetulnya memancing setelah hujan reda akan banyak mendapatkan ikan dengan catatan air di sungai tidak terlalu keruh oleh banjir bercampur lumpur. Namun, memancing sambil hujan-hujanan tidak nyaman. Payung adalah barang yang agak mewah. Memancing dengan berpayung adalah janggal di desa kami. Paling-paling, kalau mau berpayung daun pisang.

Bila hujan tidak turun di desa kami pun memancing tetap sulit dilakukan di saat musim penghujan. Sering hujan bergantian, kalau tidak turun di desa kami ya turun di hulu. Ini menyebabkan sungai banjir bercampur lumpur. Sehingga bila kami mau memancing di antara kami terlebih dulu muncul pertanyaan SBY, (“Sungai banjir ya?”).

Sebenarnya pertanyaan SBY ini lebih merupakan pertanyaan retorik, pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya tetapi tetap ditanyakan. Pertanyaan SBY biasanya dilontarkan dengan harapan yang agak pudar. Kalau kami sudah tahu di hulu hujan, maka kami pasti tahu pula sungainya banjir bercampur sedimen. Memancing pun akan sia-sia dan keinginan makan nasi dengan lauk ikan sungai pun tidak akan terwujud.

ARB membuat repot saat hujan berkepanjangan

Saat yang menderitakan adalah saat musim penghujan di puncaknya. Hujan turun bisa berhari-hari dengan jeda yang singkat. Hujan lagi, hujan lagi. Anak-anak kecil seperti kami tidak dapat memancing, ke sekolah dengan baju basah kuyup, mengaji setelah maghrib sering membolos.

Puncak penderitaan terjadi bila malam menjelang, terutama setelah waktu isya. Hujan yang deras menyebabkan air menetes di mana-mana hampir di setiap sudut rumah karena ARB (atap rumah bocor).

Atap rumah sebagian besar di desa kami terbuat dari daun kelapa yang dianyam. Musim kemarau dan penghujan yang datang silih berganti menyebabkan atap rumah yang kami sebut bleketepe itu mudah lapuk dan berlubang di sana-sini. Kalau hujan di malam hari sungguh menyiksa. Duduk berkumpul sambil menunggu rasa kantuk datang diganggu oleh air hujan akibat ARB.

Bila sudah begitu kami menggeser kursi untuk menghindari tetesan air. Celakanya bocoran air dari atap itu sering berubah-ubah. Mungkin karena struktur atap rumah yang terbuat dari daun kelapa itu dipengaruhi oleh angin. Sehingga bocornya bisa berpindah tergantung kencang-tidaknya tiupan angin.

Banyak bocoran air hujan di dalam rumah. Mencari tempat yang aman dari tetesan air sulit. Sebetulnya daerah yang aman adalah di tempat tidur, kami selamat dari derita ARB. Tetapi bukan berarti di atas tempat tidur bebas dari bocor. Hanya saja, bocoran itu jatuh pada plastik penampung lebar yang kami pasang di atas ranjang tempat saya dan kelima kakak saya tidur.

Tetesan air yang di atas ranjang itu tentu saja makin lama makin banyak. Jadi, setiap pagi setelah semalaman hujan turun kami bergotong royong membuang air. Plastik penampung air di atas ranjang itu kami angkat pelan-pelan dan hati-hati. Jika tidak hati-hati, air yang terkumpul banyak itu akan tumpah dan membasahi kasur. Ini akan menjadi penderitaan kami lainnya. Musim penghujan dengan kasur basah! <<>>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline