Lihat ke Halaman Asli

Alasan Tangis Para Petani

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesaat tertegun melihat begitu dalam tangisan pahlawan pangan dalam perjuangannya melawan nafsu para penguasa. Begitu terenyuh mengingat akan masa depan yang akan suram esok. Kerusakan hutan yang kembali melanda bukan hanya derita pepohonan, tanah, hewan, air. Namun juga menambah derita para petani yang bergantung kehidupannya dari sumber daya alam hijau ini. Bentuk protes dan kepedulian mereka akan nasib hutan dan nasib kelangsungan hidup mereka seakan belum cukup untuk mengetuk hati para penguasa.

Kerusakan hutan kembali terjadi , bukan karena disengaja. Tapi lebih karena suatu kesadaran diri yang tidak dibarengi dengan kesadaran akan keselamatan lingkungan hidup. Bukan hanya sekali terjadi namun telah berulang kali terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Entah apa yang bisa membuat seseorang bisa sadar akan bahaya suatu peristiwa kerusakan hutan. Banjir, tanah longsor, suhu udara meningkat, keterbatasan akses air bersih, ruang bernapas yang semakin berkurang seakan alasan yang belum cukup untuk membuka hati, jiwa dan pikiran berbagai kalangan untuk menjaga lingkungan. Keseimbangan alam semakin rentan dengan kerusakan hutan ini. Bukan hanya lingkugan yang menuntut tapi para penduduk yang bergantung pada hasil alam dari hutanpun begitu perih merasakan akibat dari peristiwa ini.

Seperti aksi yang dilakukan oleh sejumlah petani dari Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau, yang  tiba di Jakarta, Jumat dini hari, 16 Desember 2011. Mereka langsung datang ke gedung DPR-RI dan membangun tenda. Para petani ini tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMP3). Mereka akan menggelar sejumlah aksi di Jakarta guna mendesak Menteri Kehutanan segera mencabut SK nomor 327 tahun 2009 tentang HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Salah satu rencana aksi yang sudah dipersiapkan petani pulau padang ialah aksi jahit mulut sedikitnya 100 orang relawan petani. “Ini baru gelombang pertama. Nanti akan menyusul lagi puluhan orang. Jadi ada 100 orang yang akan menggelar aksi jahit mulut,” ujar Muhammad Riduan, salah satu aktivis yang memimpin aksi ini. Rencana aksi jahit mulut itu sendiri akan dimulai pada hari Senin mendatang. Aksi itu merupakan bentuk perlawanan rakyat Pulau Padang terhadap keputusan Menhut memberi ijin HTI kepada PT. RAPP. Para petani menilai, keluarnya SK Menhut nomor 327 tahun 2009 mengandung cacat administratif dan, karena itu, perlu ditinjau ulang. Petani juga menganggap SK tersebut akan membawa kerugian besar bagi rakyat Pulau Padang (berdikarionline.com).

Yang menjadi alasan para warga Pulau Padang melakukan aksi jahit mulut ini adalah karena penerbitan izin HTI dan dikeluarkannya SK 327 MENHUT tahun 2009 kepada PT.Riau Andalan Pulp And Paper(PT.RAPP) untuk melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di daerah hutan alam gambut di pulau padang. Konflik lahan ini ternyata sudah ada sejak setahun yang lalu namun belum pernah mendapat keputusan pasti maka dari itu para petani meminta surat keputusan Menteri Kehutanan untuk menolak kepemilikan lahan yang berakibat berkurangnya produktivitas petani dan penyebab kerusakan lingkungan.

Pemanfaatan hasil hutan oleh perusahaan industri dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas dan ketersediaan lahan bagi para petani untuk bercocok tanam dan menyambung hidup. Seperti telah diketahui, pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh suatu industri kebanyakan tidak pro terhadap keseimbangan lingkungan. Eksploitasi besar-besaran akan pasti terjadi mengingat betapa sumber daya alam yang begitu melimpah. Petani bukan rakus, bukan serakah atau mau menang sendiri, mereka hanya menuntut yang merupakan hak mereka, hak yang seharusnya memang untuk mereka. Tidak muluk, asal lahan mereka bisa dijadikan kembali sebagai pemenuhan kebuituhan dan tentunya mereka punya batasan sendiri dalam mengolah sumber alam yang tersedia. Karena mereka pasti sadar pengeksploitasian hanya akan mengurangi keberadaan mereka dibumi ini begitupun juga dengan manusia lainnya.

Kebijakan pemerintah setempat ternyata tidak bisa menunjukkan kemandirian yang merupakan tujuan dari otonomi daerah. Para petani malah harus pergi ke pemerintahan pusat agar aspirasi mereka didengar dan melakukan aksi jahit mulut yang sangat menyakitkan tentunya. Meskipun keputusan Menteri Hutan yang akan melarang keputusan SK yang dikeluarkan oleh pemerintahan setempat telah dikeluarkan. Namun ternyata para petani tidak mudah percaya akan “janji-janji surga” oleh pejabat. Mereka masih menunggu aplikasi nyata dari pemerintah setempat. Sungguh merupakan potret ketidak percayaan masyarakat akan para pejabat yang semakin terpupuk akhir-akhir ini.

Terlintas luka yang mendalam saat melihat kesungguhan para petani dalam memperjuangkan hak mereka, sambil mengumandangkan lagu kebanggaan Indonesia Raya para petani tersebut menangis seiring dengan tangisan semakin berkurangnya rasa simpati kita kepada manusia. Peristiwa seperti ini memang hanya sedikit menyita perhatian, seakan berjalannya waktu sedikit demi sedikit menjadi terlupakan. Kita tidak pernah tahu apakah mereka sudah jelas mendapatkan hak mereka. Atau mereka masih terlunta-lunta dengan nasib mereka yang tidak kunjung jelas. Apapun alasannya para petani selalu jadi yang dirugikan diatas kepentingan penguasa. Bisa apa kita tanpa mereka para petani. Miris melihat beban yang harus mereka tanggung dengan tanggung jawab mereka dalam pemenuhan pangan di seluruh pelosok negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline