Lihat ke Halaman Asli

Karena Aku Mengenalnya

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam yang amat lusuh bagiku, seharian aku berlari dalam kemelut yang tak jua memecahkan petang di kedua bola mataku, aku terus saja memikirkannya, seorang pemuda yang malang, ia mungkin saat ini tengah di terpa gelombang badai dalam pikirnya, karena awan hitam pekat yang kini menghantamnya, pemuda yang aku cintai sejak dua tahun lalu, beberapa orang beranggapan jika cinta ini hanyalah cinta monyet, namun entah mengapa aku seperti tak bisa hidup tanpanya, kini aku baru berumur 18 tahun dan dia, mas Zian, dia adalah pacarku sejak kelas 3 SMA, mungkin banyak yang kaget saat beberapa temanku mengetahui hubunganku dengan mas Zian

Ia adalah ketua OSIS, namun aku mencintainya bukan karena dia terkenal di sekolah, melainkan sebab aku memang telah mengenalnya, aku mengenalnya sebelum ia jadi ketua OSIS di sekolah, tanpa seorangpun yang tahu, ia di kenal sebagai orang yang egois,pemarah, “mentang-mentang ketua OSIS bertindak seenaknya” itu yang sering aku dengar dari beberapa anak yang juga menjadi anggota OSIS, dia bukanlah pemuda yang tampan yang di perebutkan para cewek-cewek di sekolah,namun ia adalah seseorang yang sederhana, sopan dalam tutur katanya, ia seseorang yang keras di luar namun berhati lemah lembut.

Ketika ia masih bergelut dalam dunia organisasinya kami sangat jarang berbicara atau bertemu, sesekali ia hanya curhat padaku lewat face book, namun mas Zian yang aku kenal di dunia maya dan di sekolah serta dari cerita anak-anak sangat amat jauh berbeda, aku bingung sebenarnya seperti apa dirinya yang sebenarnya, namun beberapa saat aku memang benar-benar mengenalnya, jika dia adalah memang seorang lelaki yang aku butuhkan, seseorang yang benar-benar menyayangiku dengan segenap jiwanya, dalam matanya aku selalu menemukan purnama yang memberikan keteduhan, awalnya aku sangat tak suka memandangi wajahnya karena ia memang mempunyai wajah yang pas-pasan namun semuanya kini telah berubah, aku menemukan danau ketentraman dalam dirinya, seperti bemain di atas salju yang dapat menyejukkan tubuhku hingga ke sum-sum serta pembuluh darahku, aku mulai mencintainya ketika tak ada angin ataupun rumput yang tahu jika aku telah mengenalnya, ya aku jatuh cinta padanya ketika semua orang jijik kepadanya, aku mencintainya ketika mereka tak pernah menghiraukan nasehat serta himbauannya, namun aku selalu mati dalam sayu pandangnya, aku tak pernah berani menatap purnama di lingkar matanya, cintaku tak seperti pepatah “dari mata turun ke hati” melainkan “dari hati naik ke mata” itulah cintaku untuk mas Zian, “kau adalah wanita pertama yang mengenalku dan aku cintai, kau adalah kekasih pertama bagiku, dan akan jadi yang terakhir” ujarnya.

Kini mereka telah menjilat air liurnya sendiri, anak-anak yang dulunya sering mengumbar kejelekan mas Zian kini mereka akrab dengannya, tentang egois,atau hal-hal dari diri mas Zian yang sangat mereka benci, itu semua hanyalah kesalah fahaman, mereka ingin di mengerti namun tak pernah mau mengerti, mas Zianpun kini adalah bagian dari hidup mereka, ia adalah payung dalam tiap hujan, ia adalah awan di hamparan sinar mentari, ia adalah mas Zian, anak-anak yang semula mencemoohku tentang hubungannku dengan mas Zian, kini mereka baru sadar jika aku tak salah memilih seseorang

Namun, hari ini mungkin ia amat bersedih, bukan masalah dari teman melainkan dari keluargnya, tiba-tiba keluarganya melarangnya untuk berhubungan denganku, ini semua karena ia tak kunjung di terima di universitas Negeri, bukan karena ia tak pintar, hanya saja nasib belum berpihak kepadanya, dan orang tuanya tiba-tiba menaruh prasangka buruk padaku, mereka beranggapan jika karena hubungannya dengankulah yang menyebabkan anaknya kurang konsentrasi terhadap sekolahnya, padahal selama ini ia selalu mendapatkan peringkat baik di sekolah, lantas hanya gara-gara masalah ini ia di todong supaya begitu saja melupakan aku dan mengusir bayang-bayangku dari hidupnya, orang tuanya juga berniat untuk  mengirimnya keluar Negeri untuk kuliah disana, “aku tahu mas, kamu sangat mencintaiku, tapi bukankah keluarga dan masa depanmu itu lebih penting ketimbang mempertahankan cinta dari wanita sepertiku?” tanyaku beberapa saat lalu, namun ia tetap bersihkokoh mempertahankan pendiriannya jika ia tak akan melepaskanku, dan ia tak mau di paksa untuk di kirim ke luar Negeri “mereka bisa memisahkan kita, tapi cintaku padamu tak akan bisa mereka renggut” bahkan kini ia berniat untuk keluar dari rumah dan berkelana seorang diri, mencari kerja sendiri untuk membiayai hidupnya dan kuliahnya meskipun hanya kuliah di universitas swasta, “aku ingin jadi diriku sendiri, tidak lagi menjadi bersandar pada mereka yang tak pernah menghargai pilihan serta pendapatku, aku ingin hidup menjadi diriku sendiri, mengenali diriku seperti kau yang bisa mengenali diriku dan tidak terpengaruh akan berita-berita jelek dari orang-orang yang membenci dan ingin menjatuhkanku” tekadnya, aku amat miris mendengarkan semua rencananya, aku lebih rela jika ia meninggalkanku dari pada ia harus hidup seorang diri tanpa arah dan tujuan.

Beberapa hari lalu aku menangis lantas kini aku tak lagi bisa menangis hanya luka yang kurasakan, luka yang amat sangat hingga aku tak bisa merasakan sakitnya, ia membelaku hingga ia rela meninggalkan hidupnya yang semula baik-baik saja “aku akan buktikan, jika kau adalah wanita yang ku cintai, wanita yang mampu membuatku bertahan, dan kau adalah wanita yang ku puja, aku tak bermaksud menjadi anak yang durhaka, namun aku tak boleh goyah jika membelamu bukanlah suatu kesalahan, ini bukan salahmu sayang, tapi inilah garis hidupku, mereka harus mengerti dan memahaminya” kalimat itu sempat terlontar dari mulutnya sebelum kabar itu telah sampai di telingaku, jika mas Zian benar-benar pergi meninggalkan keluarganya, iapun tak menghubungiku sama sekali, padahal aku sama sekali tak menginginkan ini terjadi, kehidupan ini membawaku semakin jauh darinya ketika aku menjalani hidup sebagai mahasiswi di Universitas Negeri di Surabaya, aku tetap mencintainya meski tak lagi bisa menatap purnama itu atau mendengarkan suaranya yang merdu

Ku selalu merindukanmu mas, meski telah beratus-ratus detik menderka malu di ruang hatimu, meski segala rasamu telah terkunci rapat dalam bilik-bilik jantungku, aku ingin menjadi bayangan dalam tiap langkahmu, menjadikannya tak lagi kusam, dan menggantinya dengan guratan senyum yang membuyarkan pesona tiap insan, aku ingin jadi hidupmu meski bongkahan es yang tak kunjung cair menancap dalam hati yang terus terbelenggu, aku ingin jadi nafasmu meski dingin selalu bekukan kehangatan dalam deretan kemesraan kita, aku ingin jadi degup jantungmu walaupun senyumanku kan layu, walau namaku kan menghitam dan segala yang ada pada diriku kan musnah bersama senja yang usir jingga pada mega-mega.

Kekasihku yang tak ku tahu kabarnya, sejak kita mulai tak lagi bertemu dan tak bertegur sapa, aku yang terjebak disini, di kota yang tak pernah ku kenali, sedang kau meninggalkanku dalam kereta hidup yang terus bergulir, tak jua menemukan persinggahan, dalam gelap dan dalam remang-remang mentari itu aku selalu menantimu, namun tak kunjung datang, hanya semilir hawa pengap yang aku rasakan saat aku memikirkanmu, dalam benakku matamu terus saja menajam, seperti rerumputan hijau yang tersapu dinginnya embun, tak mampu berkata apapun, sangking nikmatnya bergelayutan pada pagi yang memelukmu, aku masih merindukanmu

Berdetik-detik,berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan aku selalu mencoba ungsikan rinduku yang tak jua temukan gudang untuk hanya sekedar membuang asa yang telah berkarat, tiap senja ku pandangi wajah dalam secarik kertas doft yang tak pernah lusuh senyumnya, senyumamu yang bagiku telah mampu hancurkan duniaku meski ber ton-ton batu ku berusaha membangun benteng agar tak jatuh dalam hatimu yang tiap waktu terus saja menghanyutkanku, ke dalam rindu yang hanya mampu ku nikmati dalam buaiannya kesepian, menyisahkan sedikit luka, namun dalam luka itu ku selalu saja menjumpai aroma wangi tubuhmu, yang masih sangat ku ingat, aroma yang mampu menerbangkanku dalam dermaga kenikmatan, entah, aku tak mengerti, kebahagiaan macam apa yang dulu pernah ku temui, saat aku mendekap dalam aroma tubuhmu yang mampu melelehkan Kristal-kristal dalam relung hati, aku amat menikmatinya namun kenyataan kini mendayu-ndayu, berteriak memanggil masa lalu, ketika dunia kita adalah satu, ketika aromamu adalah wangiku, ketika rinduku adalah hidupmu, aku hampir melupakannya namun tak pernah bisa melupakan seluruh dari apa yang pernah terekam oleh mataku, pikirku, hatiku dan tubuhku yang menjadi saksi kebersamaan kita.

Aku kembali memutar cerita-cerita itu ketika petang telah meraja dalam singgahsana dunia, mengingat kebersamaan kita, saat aku bermanja-manja dan selalu bertanya “apa kau tak merindukanku?” lalu kau tersenyum manis menanggapi pertanyaanku, dan menjawabnya “jawabanya tak pernah berubah sayang, tiap detik aku selalu merindukanmu” aku tak tahu kini harus menangis atau tersenyum saat mengingatnya, apa kini juga kau merindukanku saat aku haus akan segala sesuatu tentang hidupmu, kesepian ini seakan mengusirku dari senyuman, dan bagaimana rasaanya meminum sejuknya rindu yang kau suguhkan dulu yang selalu mendinginkan kerongkonganku, hanya gersang dalam lembanyung petang yang terus saja mengusikku dalam mimpi-mimpi, mimpi yang tak pernah berubah, wajahmu yang ranum itu terus saja menghampiriku, yang selalu ingin ku sentuh namun berubah menjadi pasir yang berhamburan mengejar sekawanan awan hitam, aku sebenarnya amat takut menjalani hidupku ini tanpamu kasih, namun kenyataannyapun aku belum mati meski tanpa adanya kau disisiku,

Meski siang ini aku terus sibuk dengan tugas-tugas kuliahku dan  jam memberi les tambahan pada anak-anak tetangga kostku, aku harus terus menjalaninya dengan senyum, senyuman pahit ketika kau tak lagi melihatnya, tak lagi memaksaku untuk tersenyum meski kau tahu aku tengah menangis saat kau tentukan garis hidupmu dan pergi dari mereka, kau bilang selalu ingin melihatku tersenyum , namun kini kau tak pernah datang meski tiap waktu aku menjalani hidupku dengan senyum, apa kau kini berkomplot dengan mereka? Setuju dengan pendapat mereka? Namaku memang telah busuk di hamparan segala sanak familimu, namun aku tetap menjalani hidup dengan penuh kebanggaan, atas apa? Karena aku bangga tidak seperti apa yang mereka tuduhkan, hingga kau membelaku mati-matian, apa kini kau telah kembali pada mereka dan mulai melupakanku kasih? aku bahkan masih ingat jelas bagaimana kau menangis dan merasakan bebatuan menghantam ulu hatimu dengan dahsyat, saat kau berada di sampingku dan menceritakan segala keluh kesahmu, ketika keluargamu melarangmu untuk menemuiku lagi, ketika orang tuamu melarangmu untuk menelpon atau sms aku lagi, saat itu kau membelaku seakan-akan aku ini adalah jantungmu yang tanpaku kau tak kan bisa bertahan hidup, karena beberapa tuduhan yang memang tak pernah aku lakukan, ya, meski harga diriku sepertinya telah mati di mata mereka, tapi saat itu kau tetap mencintaiku, tak peduli bagaimana pendapat orang mengenaiku, kau masih mencintaiku.

Kini cerita itu hanya akan jadi kisah dalam debur ombak yang selalu mengiringnya ke tapak-tapak perjalanan hidupku, entah kini dengan hidupmu apakah ia masih menjadi barisan awan yang selalu mengikutimu, menjadi penghalang mentari yang menyengat di kepalamu, menjadi penyejuk ketika kau memandang putihnya,  Aku benar-benar kehilangan tentang dirimu kasih, karena yang ku miliki kini hanyalah bingkai masa lalu yang entah sampai kapan akan tetap menjadi bingkai kehidupanku, berkali-kali aku berniat untuk menggatinya, namun segala ruang dalam diriku seakan roboh saat aku memikirkannya, bahkan ketika ku pandangi kerikil di penggiran jalan sembari ku melangkahkan kaki  menuju kampus, aku terus memikirkanmu, sejak aku berada di kota ini dan merasa sendiri, sejak saat itu, ya dan sampai detik ini, 17 bulan kau menghilang seperti tertelan kabut tebal, namun kenapa anginpun tak menghembuskan aromamu kepadaku? Setidaknya untuk menina- bobokakan aku yang haus akan pandangmu yang selalu menghangatkanku, aku merindukanmu dalam setiap aliran darahku, meski berkali-kali membanting nadi dan mencekiknya, aku ingin mati, berkali kali aku ingin mati yang hidup tanpa hidupmu, namun aku selalu yakin jika suatu saat kau akan datang membawa kelopak-kelopak mawar yang tengah merekah dan membayar segala kerinduanku serta kekejamanmu, tak kah kau ingat aku selalu mengatakan jika kau jahat? namun kau hanya menanggapinya dengan guratan senyum “jahat karena telah memenuhi segala ruang dalam hatimu sayang, tak ku sisahkan untuk yang lain” ya memang kau pemenangnya, dalam sayemabara segenap jiwaku, aku benar-benar beku oleh kesendirian ini, merawat segala ruang yang isinya hanyalah dirimu, namun semua ini amat melelahkan, sebelum aku terkena alzhaimer tak kah kau mau datang menjengukku? Sebelum aku benar-benar bisa melupakanmu, apa kau benar-benar merelakan untuk melepaskanku? Aku menantimu untuk berada di sampingku seperti kisah-kisah kita terdahulu, masa masa-masa manis yang kita lalui bersama.

Kini aku mulai merasakan jenuh dan kebimbangan yang terus menghanyutkanku dalam sungai yang tak bermuara, di depan gedung fakultas ini aku selalu teringat tentangmu, memandangi langit cerah yang terus menghujamkan berabagai tanda Tanya, kenapa kau tak juga datang menjemputku, menyuapiku dengan segala kebutuhanmu akan diriku, lupakah kini kau tentang cerita kita? Penantian ini bagiku adalah sebuah sirkus yang amat terkesan namun membuatku sedikit muak karena semuanya terlalu berlebihan, sangat jahat dan benar-benar kejam, ceritaku kini menjadi mendung yang terkadang membiru dan lusuh, terkadang menghitam dan kusam, tak pernah lagi menjingga yang mengundang keharuman nurani, apa aku harus lebih sabar menantimu? Atau menyerah saja dalam titik ini? Sayang, kembalilah padaku, atau setidaknya katakan saja jika kau tak lagi mencintaiku dan kembali pada hidupmu yang dulu meski tanpa adanya ceritaku di hidupmu, menggores cerita baru untuk masa depanmu yang lebih bersinar, tak lagi gersang seperti saat kau tak lagi menghiraukan keluargamu untuk membelaku, agar aku akan segera menepi dalam danau kegelisahan ini yang tiap hari menciptakan gulungan ombak yang terus saja badai dalam arus pikirku, aku menyerah, aku menyerah.. lantas ku langkahkan kakiku untuk segera kembali ke sepetak ruang yang ku tinggali, tiba-tiba aku menemui perahu yang dari sana dapat ku pandangi cahaya purnama yang tengah meraja dalam lingkar bola mata lelaki. Lelakiku, apa masih ia menjadi kekasihku seperti lakon dalam kisahku selama ini? Dalam kesendirianku selama 17 bulan tanpa jawaban kerinduan, tanpa seucap harapan yang kau titipkan pada angin ataupun malam, kasihku ia telah datang meski aku terus tersenyum pahit, sebelum ia akhirnya memelukku,” apa kau tak merindukanku?” tanyaku “Jawabanya selalu sama sayangaku, aku selalu merindukanmu dan akan membuktikan pada mereka jika kau tak bersalah, jika kita tak bersalah telah tenggelam dalam cinta” ucapnya.

--tamat--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline