Saya 29 tahun, lajang, bekerja, lantas apakah saya harus menikah?
Obrolan pagi ini dengan salah satu rekan kerja berujung pada pertanyaan mengapa saya belum menikah membuat saya menuliskan ini.
Pertanyaan tersebut saya jawab singkat, “belum ketemu jodohnya, pak”. Tampaknya jawaban tersebut yang paling tepat dibanding jika saya jawab, “saya tidak ingin menikah, pak”. Ah, tentu akan lebih panjang lagi obrolan pagi ini, dan obrolan yang awalnya ringan akan menjadi berat.
Memang diantara teman-teman seangkatan, hanya saya dan beberapa teman yang belum menikah, selebihnya sudah memiliki anak bahkan lebih dari satu.
Di desa tempat saya sekarang bekerja pun rata-rata menikah diusia yang sangat muda. Teramat muda bahkan. Usia yang belum diijinkan untuk menikah didalam undang-undang perkawinan. Menyalahi hukum sudah pasti, tapi banyak cara untuk mengakalinya.
Sebenarnya bukan kali ini saya saya mendapat pertanyaan seperti itu, sudah teramat sering, dan teramat sering pula saya jawab dengan asal-asalan.
Banyak wanita yang usianya jauh diatas saya masih melajang, dan tidak sedikit yang memutusan untuk tidak menikah. Apapun alasan mereka untuk tidak menikah saya menghargai keputusan tersebut daripada mereka yang menikah hanya karena alasan lain yang menurut saya terlalu dangkal.
Banyak sekali alasan yang melatarbelakangi seseorang untuk akhirnya menikah. Mulai dari yang terkesan religius, dipaksa orangtua, malu karena tetangganya sudah menikah semua, ada juga yang menikah karena adiknya sudah ingin menikah hingga memaksa sang kakak agar cepat-cepat menikah, menikahi lelaki tua berharta melimpah karna ingin status ekonominya meningkat, menikah karna tidak ingin tinggal dengan orangtua lagi, dan saya yakin masih banyak alasan lain yang menyebabkan seseorang akhirnya menikah.
Menurut saya, pada saat seseorang memutuskan menikah, itu adalah keputusannya untuk mengarungi kehidupan dengan orang pilihannya hingga akhir hayat, mengucapkan ikrar untuk sehidup semati, bersedia untuk melewati kesenangan dan penderitaan bersama, berbagi semuanya, dan tentu hal tersebut tidaklah mudah.
Saya takut jika saya menikah tidak bisa berbagi semuanya, saya takut jika pada akhirnya saya tidak bahagia, saya takut jika akhirnya kami saling menyakiti. Takut jika ternyata saya menemukan orang yang tidak tepat. Takut jika saya mengalami kegagalan, takut jika ternyata pasangan saya tidak dapat membahagiakan saya, walaupun orang bijak berkata bahwa kebahagiaan kita sendiri yang menciptakan tapi menurut saya dalam kehidupan keluarga harus ada dua orang yang menciptakan kebahagiaan tersebut. Atau mungkin saya yang terlalu membesar-besarkannya karena pada kenyataannya banyak yang menikah dan kehidupan pernikahannya baik-baik saja.
Iya, ternyata saya takut untuk menikah.
Saya pernah melihat buku dan spanduk yang sangat provokatif tentang ajakan menikah. Saya heran, kok berani-beraninya ya si penulis membuat itu, apakah mereka bisa menjamin menikah adalah pilihan terbaik dan dan menjadi solusi yang tepat untuk kehidupan orang lain, apakah dengan menikah orang akan lebih bahagia?
Mungkin lebih baik saya tidak menikah, karena saat ini saya lebih yakin akan lebih bahagia jika sendiri.
Ada yang bilang “lho kamu kan belum pernah menikah, gimana bisa tahu bahagia atau tidak jika belum dijalani..”. Saya cuma bisa jawab dalam hati, “Untuk nikah kok coba-coba!”
#selamat mencoba menikah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H