Lihat ke Halaman Asli

Jennifer

FISIP 2019 Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Instagram dan Kaitannya dengan Teori Kolonialisme Elektronik

Diperbarui: 7 September 2020   04:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Siapa yang tidak kenal Instagram? 

Media sosial yang satu ini memungkinkan penggunanya untuk berbagi foto dan video secara mudah. Selain itu, Instagram juga dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain di manapun mereka berada. Tak heran mengapa Indonesia merupakan negara ke-4 dengan pengguna aktif terbanyak di dunia yaitu sekitar 61 juta penduduk (Hamdan, 2019).

Namun, sebenarnya adakah bahaya yang mengancam dengan penggunaan Instagram ini?

Instagram dirilis oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger, lulusan Stanford University, Amerika Serikat pada tanggal 6 Oktober 2010. Mereka mengungkap bahwa saat itu mengedit foto masih sulit, sehingga dibuatlah Instagram sebagai media yang menawarkan 11 preset agar pengguna lebih mudah untuk mengedit foto  dan mengunggahnya (Haryanti, 2019). 

Sampai akhirnya saat ini Instagram dilengkapi dengan berbagai fitur baru, salah satunya adalah Instastories. Melalui Instasories, seseorang dapat membagikan foto maupun video kegiatan yang sedang dilakukan saat itu juga dan akan tersimpan dalam rentang waktu 24 jam.

Menilai dari Teori Kolonialisme Elektronik, di mana terdapat ketergantungan antara negara pusat dan negara pinggiran, fenomena banyaknya pengguna Instagram di Indonesia dapat menjadi contoh yang tepat untuk menggambarkan betapa berpengaruhnya hasil produk komunikasi Amerika Serikat terhadap kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia.

Teori ini sendiri merupakan teori yang berfokus pada hubungan impor antara negara pusat dan pinggiran dalam hal perangkat keras komunikasi (teknologi), perangkat lunak (program televisi, film, internet), bahkan keterampilan seperti insinyur, teknisi, dan lain-lain (Bornman, n.d.). Teori ini menganggap bahwa sistem komunikasi elektronik yang diciptakan negara pusat akan berpengaruh bahkan berpotensi mengubah budaya asli dari negara pinggiran. 

Setelah adanya fitur Instastories, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang selalu update di mana pun mereka berada, bahkan saat hendak makan sekalipun. Tentu saja hal ini berbeda dengan budaya Indonesia yang mengutamakan untuk beribadah sebelum makan.

Menurut McPhail (2014), teori Kolonialisme Elektronik juga menekankan bahwa perubahan  bisa terjadi pada hubungan pertemanan, keluarga, dan ikatan komunitas. Fitur Direct Message pada Instagram membuat pengguna dapat berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan ketika berada di negara yang berbeda sekalipun. Hal ini menimbulkan adanya perubahan persepsi dan pandangan karena terfasilitasi oleh media yang bisa menghubungkan dengan orang yang berbeda budaya. 

Ditambah lagi, pengguna dapat secara mudah mengakses profil public figure di InstagramContohnya, Gigi Hadid yang pernah mengunggah foto kontroversial yaitu dirinya yang menjadi model majalah Vogue tanpa balutan busana (Nurin, 2016). Tentu saja hal ini mengkhawatirkan apabila pengikutnya menelan mentah-mentah contoh tersebut dan mengikutinya, sedangkan hal itu sangat berbanding terbalik dengan budaya Indonesia yang menerapkan kesopanan.

Pada dasarnya, sah-sah saja untuk menggunakan media sosial manapun. Berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda negara dan budaya pun tidak salah, justru memiliki keuntungan untuk menambah relasi. Asalkan masyarakat Indonesia mampu memperhatikan  budaya yang sesuai dan tidak menyepelekan pesan dari akun internasional yang dikonsumsi. Sebab teori Kolonialisme Elektronik menilai bahwa negara pusat berfokus untuk memperluas budaya, sikap, dan gaya hidup mereka kepada negara-negara pinggiran dalam konteks jangka panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline